PYONG

 




PYONG

Archana Universa

 



"Kupikir kau tidak akan datang!" Aku berbisik saat melihatnya. Boneka anak ayam yang dititipkannya padaku masih kudekap. Empuk banget ternyata. Kuharap aku tidak ketiduran saat filmnya main.

 

 

 

 

 

 

Aku tidak paham mengapa juniorku ini membawa-bawa boneka di hari terakhirnya magang. Aku sempat mengira ini semacam hadiah terima kasih buatku karena sudah menjadi mentornya selama enam bulan. Tapi bisa saja salah.

 

"Mengapa begitu?" balasnya sambil meletakkan bokongnya di kursi sampingku.

 

"Karena kau tidak kunjung datang. Iklannya sudah selesai ditayangkan. Lampu sudah diredupkan. Filmnya sudah akan dimulai."

 

"Maaf sudah membuat Sunbae menunggu. Tadi Sunbae Jo memintaku membereskan file-nya sebelum pulang." Junnu menyodorkan popcorn dan cola punyaku.

 

"Dia masih saja mengerjaimu di hari terakhirmu magang."

 

"Jangan merindukanku, Sunbae." Junnu tertawa kecil saat mengucapkannya.

 

"Aku akan mengundangmu buat nongkrong di cafe kalau kangen."

 

"Aku menantikan undanganmu itu, Sunbae."

 

"Kurasa aku akan tidur di pertengahan film," bisikku.

 

"Kembalikan boneka ayamnya?" Dia meminta.

 

Aku malah makin membenamkan kepalaku ke benda bulat berwarna kuning itu. Diameternya sekitar lima puluh senti. Nyaman sekali menaruh kepalaku di boneka ini.


"Astaga itu bukan milikmu!" omel Junnu.

 

"Akan kukembalikan setelah filmnya selesai," tolakku.

 

Junnu terlihat tidak setuju, tapi dia tidak melanjutkan debat kami karena filmnya sudah dimulai. Orang yang duduk di barisan depan kami juga sempat menoleh dengan tatapan mengingatkan supaya kami nggak banyak buat suara.

 

 

***

 

 

Kurasa aku tertidur. Ini mimpi. Aku tidak lagi berada di bioskop. Ini tempat asing. Tidak kukenal.

 

Lucunya Junnu tetap ada di sampingku. Dia tidak mengenakan pakaian formal seperti yang biasa kulihat selama dia magang di kantorku.

 

Penampilannya lebih kasual. Kaos dilapisi jaket juga mengenakan celana jeans. Rambutnya juga berantakan. Berantakan yang bagus. Aku baru sadar kalau dia lumayan cakep. Memang ya, gaya rambut dan gaya berpakaian bisa memengaruhi ketertarikan.

 

Pakaianku juga sudah bukan setelan formal. Aku juga mengenakan kaos, jaket, dan jeans seperti dia.

 

"Sedang apa kita di sini? Ini di mana?" tanyaku yang masih memegangi boneka anak ayam milik Junnu.

 

Kami berada di dalam gedung. Tapi entah gedung apa. Segalanya terlalu asing.

 

"Pyong!"

 

Benda yang sedang kudekap itu mendadak bersuara. Bahkan bergerak mengepakkan sayap! Aku nyaris saja melempar benda aneh itu ke lantai.

 

"Hei Junnu! Kurasa ada yang aneh dengan bonekamu!" seruku, tidak yakin dengan ucapanku sendiri. "Atau sebenarnya ini bukan boneka? Robot?" sambungku, ragu.

 

"Pyong!" Boneka itu membuat suara lagi.

Junnu menoleh ke arahku, ekspresinya tidak terbaca.

 

"Kau mau ambil kembali bonekanya?" tanyaku ragu. Setidaknya benda ini tidak menggigit atau mematuk.

Atau memang belum, aku tidak tahu.

 

"Bawa dulu saja bersama Sunbae," tolaknya.

 

"Ini di mana? Kita sedang apa?" Untungnya aku tidak perlu menambahkan pertanyaan 'aku siapa?'. Tidak, aku tidak kehilangan memory soal siapa diriku.

 

"Waktunya sudah tiba. Misinya harus diselesaikan sebelum waktunya habis," kumurnya.

 

"Misi apa?" tanyaku dengan dahi mengerut.

 

Pintu di belakang kami menutup. Suara muncul dari pengeras suara, entah di mana letaknya.

 

"Selamat datang di Misi 667321: Intruder. Peserta wajib mencari jalan keluar dalam waktu setengah jam. Hint: Hindari perkelahian jika kamu tidak yakin menang. Permainan akan dimulai dalam tiga menit. Semoga beruntung."

 

"Oke ...." gumamku ragu.

 

"Perintahkan Pyong untuk beralih ke mode silent," ujar Junnu.

 

"Caranya? Bagaimana jika kau yang melakukannya saja? Aku tidak yakin dengan segala kondisi ini. Bisakah aku menunggu di sini sementara kau bermain?" cerocosku, penuh penolakan.

 

"Sunbae terpaksa bermain karena terlanjur menjadi master atas Pyong. Perintahkan Pyong untuk beralih ke mode silent," ulangnya.

 

"Silent please?" ujarku ragu.

 

Pyong mengepakkan sayapnya sekali.

 

"Kurasa perintahku berhasil?"

 

Junnu mengangguk. Dia lalu mendekati peti-peti yang muncul dari udara kosong. Peralatan untuk misi.

 

"Sunbae bisa menembak?" tanyanya.

 

"Game tembak-tembakan bukan favoritku."

 

"Kalau begitu bawa kantong kerikil. Juga perlengkapan pertolongan pertama jika ada yang terluka. Sepatu sunyi ini bakal berguna. Aku tetap akan membawa senjata," gumamnya memilih perlengkapan.

 

"Aku lapar," keluhku.

 

Junnu mengambil spagetti dengan merengut.

 

"Guntingnya sekalian untuk membuka sausnya," pintaku. "Juga air minum," tambahku, nyengir.

 

"Apa Sunbae tidak khawatir para penjaga akan menangkap kita karena mencium bau makanan? Lagipula hanya tiga puluh menit!" protesnya.

 

"Memangnya kenapa kalau kalah permainan? Kehilangan nyawa? Aku bahkan belum sarapan hari ini!" balasku, sengit.

 

"Tidak sih. Hanya saja aku akan kehilangan bonus dan butuh waktu lama untuk mengulang level. Jadi, jangan merepotkanku, kita harus bisa bekerja sama dan menjadi pemenang!" serunya berapi-api.

 

"Kuusahakan yang terbaik, junior!" cibirku, ridak lupa memberikan tatapan mencela.

 

***

 

Timer digital memberikan petunjuk hitung mundur.

 

3...

 

2...

 

1...

 

Jam tangan Junnu menunjukkan 30:00 yang makin lama makin menurun angkanya.

Sesuai brief, dia akan maju duluan. Aku menyusul. Sekaligus memastikan tidak ada penjaga yang muncul dari belakang.

 

Junnu menyatukan ujung jari telunjuk dan jempol. Menyatakan ruangan itu kosong.

 

"Awal-awal mudah. Semakin lama semakin sulit," katanya saat kami sedang bersiap-siap tadi.

 

Jadi kami melewati ruangan pertama dengan cepat menuju ruangan lain. Di sana ada seorang penjaga berpakaian hitam yang tengah tidur.

 

Junnu memberikan peringatan supaya aku tidak lengah. Bibirnya mengucap kata tanpa suara.

 

"Hati-hati dengan langkahmu."

 

Aku mengangguk. Sepatu sunyi ini benar-benar berguna. Langkahku jadi mirip langkah kucing. Nyaris tak bersuara.

Kami menyelinap ke ruangan berikutnya. Satu orang penjaga berkeliling, ruangan berikutnya dua penjaga, tiga penjaga, kemudian lima penjaga. Beberapa kali kami mengecoh penjaga dengan melempar kerikil.

 

Tanganku kebas karena terlalu tegang, tapi aku cukup senang, mendekap Pyong membuatku lebih tenang. Meski begitu, jantungku tetap saja berdetak kencang.

 

Perutku yang keroncongan berbunyi tepat saat kami berhasil melewati ruangan dengan tujuh penjaga.

 

Junnu mendelik. Aku memasang tampang menyesal.

 

"Sudah kubilang, aku lapar," keluhku tanpa bersuara.

 

Junnu memintaku untuk menunggu sebentar. Dia menaiki salah satu lemari dengan mudah.

 

Matanya bergerak-gerak mencari sesuatu. Kurang dari sepuluh detik dia sudah berada di sampingku lagi. Seperti sebelumnya, dia memintaku buat mengikutinya.

 

Aku menyelinap di belakangnya, melewati rak-rak tinggi. Dari tadi pemandangannya cukup sama. Ruangan seperti maze, barang-barang dalam kardus. Seperti masuk dalam gudang departement store.

 

Junnu mengarahkan jam tangannya untuk membuka pintu di hadapan kami. Kali ini aku dan Pyong masuk duluan.

 

Ruangan itu lebih mirip kantor. Meja kerja dengan berbagai berkas di lemari dan di atas meja. Junnu mengunci ruangan itu dengan jam tangannya.

 

Hitung mundur tiga menit muncul di atas pintu.

"Safe area, tiga menit tanpa menghentikan hitungan setengah jam permainan. Makanlah dengan cepat!" Dia mengambil Pyong dari tanganku kemudian melemparkan spagetti ke arahku.

 

Kuharap aku tidak tersedak karena terlalu terburu-buru. Tahu begini, aku minta makanan cair seperti juice atau jelly saja jadi tinggal sedot!

Daripada mengomel, aku membuka mulutku buat makan. Mengigit dan mengunyah secepat mungkin.

Sementara aku makan, Junnu mengakses Pyong untuk mengecek peta permainan. Area perut Pyong menjadi semacam monitor.

 

Tiga menit terasa terlalu cepat. Setidaknya aku berhasil memindahkan setengah porsi ke perut. Yang jelas aku tidak menikmati makanan barusan. Saat itu mataku menemukan nasi kepal bulat di dekat salah satu kaki meja. Segera kumasukkan makanan itu ke saku jaker.

 

"Aku tidak percaya Sunbae masih memikirkan makanan di menit-menit kritis ini," tegur Junnu.

 

"Siapa tahu ada hal lain yang harus dilakukan setelah ini. Lagipula aku masih lapar, aku tidak tahu kapan lagi akan menemukan makanan di sini!" keluhku.

 

"Sisa tiga puluh detik, jangan makan lagi!" tegurnya. Sementara itu permainan masih tersisa dua belas menit.

 

Aku menelan makanan di mulutku, mendorongnya ke kerongkongan. Minum beberapa teguk air lalu berdiri, siap buat melanjutkan siksaan ini. Pyong sudah kembali dalam dekapanku. Benda itu mengerjap-ngerjapkan matanya padaku, senang. "Kuharap permainan ini segera usai!"

 

Ternyata ruangan keluarnya adalah ruangan lain. Tidak sama seperti gudang terakhir kami tinggalkan. Padahal pintu akses masuk dan keluar dari safe room ini hanya satu.

 

Junnu memintaku sembunyi bersamanya. Kami ada di balik semak-semak tinggi. Pandanganku tidak terlalu bagus di malam hari, jadi aku mengandalkannya. Sebenarnya aku sudah mengandalkannya sejak tadi.

 

Dia menunjuk bangunan dua lantai dengan tangga luar. Kemudian melepas sepatu sunyi, aku ikut melakukannya.

 

Jarinya mengaba-aba. Tiga... Dua... Satu....

Dia berlari ke arah bangunan yang dimaksud. Aku yang terkejut, sedikit tertinggal di belakangnya sementara para anjing penjaga mulai memburu kami si penyusup.

 

Ah sial! Kenapa lariku begitu lambat? Lariku tentu lebih cepat ketimbang dalam posisi tidak sedang dikejar anjing. Tapi Junnu meninggalkanku jauh di depan sementara jarakku dengan anjing-anjing itu semakin dekat.

 

Apa jika aku gagal, Junnu tetap bisa memenangkan permainan ini? Aku sebenarnya tidak ada kepentingan, ikut karena dipaksa.

 

Kuharap Junnu menang. Sementara jika aku gagal di sini, kuharap anjing-anjing pemburu tidak akan menyakitiku. Lagipula ini hanya game. Jika kalah, bukannya tinggal mengulang di tempat awal permainan?

 

Bisa kurasakan anjing-anjing itu akan mendapatkanku ketika aku mendengar suara tembakan.

 

Dor! Dor! Dor!

 

Junnu membuang shotgun-nya ke lantai dan mengulurkan tangan supaya aku bisa naik cepat tanpa melalui tangga.

 

"Habis sudah tujuh peluru kaliber 12 gauge-ku. Kuharap boss-nya bisa dikalahkan tanpa tembakan." Dia menambahkan. "Tidak ada penjaga manusia di sini. Tapi kurasa penjaga akan segera berdatangan kemari."

 

"Apa bossnya berbentuk seperti monster?"

 

"Aku juga tidak bisa menebaknya. Bisa hanya merupakan tantanganl atau teka-teki. Entahlah kemungkinannya ada banyak."

 

"Kapan kita akan menghadapi boss?" tanyaku sambil menahan mual.

 

Sirine tanda bahaya menyala. Tentu saja kamilah bahayanya karena kami penyusup. Lampu-lampu jalan dari putih berubah menjadi merah.

 

"Cari safe point!" perintah Junnu.

 

"Bagaimana aku tahu yang mana safe point?" protesku.

 

"OK. Kita gunakan Pyong sekarang. Pyong! Navigasi ke safe point!" perintah Junnu yang tentu saja tidak berhasil.

 

Aku langsung menangkap kesalahannya. Jadi aku yang memberi perintah. "Pyong! Navigasi ke safe point!"

 

Salah satu tangan Pyong menunjuk arah pukul dua. Ada rumah dua lantai di sana.


"Ketemu!" seruku dan Junnu berbarengan.

Aku dan Junnu bergegas ke tempat menyelesaikan permainan 667321.

 

Ratusan zombie mendadak muncul mengejar kami.

 

Kurasa, sekalipun Junnu memiliki shotgun, dia tidak akan bisa menghabisi seluruh zombie di sini karena terbatasnya jumlah peluru.

 

Gerakan zombie-nya tidak terlalu cepat. Namun mereka banyak! Kadang ada yang mendadak muncul dari semak-semak. Yang paling menyebalkannya adalah mereka bau!

 

Mualku bertambah parah, apalagi harus berlari lagi. Spagetti yang kutelan beberapa menit lalu bergerak lagi menuju mulut. Aku berhenti buat muntah.

 

Junnu bingung antara melanjutkan pelarian ke safe point atau tetap bersamaku. Dia bahkan sudah tidak punya senjata. Mestinya Junnu mengambil katana saat di ruang persiapan.

 

Aku menggerakan tangan, menyuruhnya pergi. Lalu membungkuk buat muntah lagi. Saat itulah nasi kepal yang aku ambil dari safe room jatuh dari kantung jaketku. Jatuh membentur tanah, mulai berasap.

Junnu mengambil Pyong lalu menarik tanganku, membuat sedikit muntahan yang tersisa mengotori bagian depan pakaianku. Tapi kondisiku sudah jauh lebih baik. Mual yang kurasakan sudah hampir sepenuhnya hilang.

 

Aku sanggup mengikuti kecepatan gerakannya.

Kami tiba di safe point. Rumah dua tingkat yang sepertinya ditinggalkan pemiliknya belum lama karena perabotannya masih bersih. Zombie masih berkeliaran di luar, bom asapnya sudah kehabisan daya. Aku senang mereka tidak tahu kami ada di dalam.

 

"Jangan dilihat lagi," tegur Junnu sambil menutup gorden, agar cahaya dari dalam rumah tidak menarik perhatian para zombie. Dia menyodorkan secangkir teh hangat. "Banyak makanan segar di kulkas."

 

"Kurasa aku akan membiarkan perutku tenang lebih dulu. Terima kasih tehnya."

 

"Makan sesuatu sebelum tidur. Ada dua kamar di lantai atas dan satu kamar di bawah," terang Junnu yang sudah menyisiri seluruh rumah sementara tadi aku mengintip zombie dari jendela. "Kau sudah bisa mengakhiri mode diam Pyong."

 

"Pyong kembali ke mode normal," perintahku. Boneka itu melompat kegirangan di atas sofa.

 

"Kita sudah menyelesaikan misi, kenapa kita belum kembali ke dunia nyata?" tuntutku.

 

"Jangan khawatir. Sudah tidak ada tantangan lagi. Kita akan segera kembali tidak lama lagi. Beristirahatlah Sunbae," Junnu mengelus puncak kepala Pyong sebelum menghilang ke ruangan lain. Dia mengatakan akan tidur di kamar bawah.

 

Setelah aku makan beberapa apel dan biskuit, aku menuju ke lantai atas bersama Pyong buat tidur. Rumah ini begitu tenang, tidak ada suara apa pun. Bahkan zombie-zombie di luar tidak membuat keributan. Terlalu tenang, setelah semua kekacauan yang kualami dalam misi mencekam tadi.

 

Sementara itu isi kepalaku terlalu ribut. Aku mengira-ngira sebenarnya apa saja fungsi Pyong dalam misi? Kuyakin tidak sekadar menjadi navigator. Mungkin di misi lain dia akan menunjukkan kemampuan lain. Meski begitu aku tidak berniat terlibat dalam misi lain. Kengerian hari ini memang seru, tapi bukan sesuatu yang ingin kuulangi.

 

 

***

 

 

Kupikir aku bakal sulit tidur, nyatanya aku tertidur cukup lama dengan Pyong di dekapanku.

 

"Sunbae! Bangun, Sunbae!" Junnu mengguncang tubuhku, pelan.

 

Bioskop. Tentu saja. Ini bukan rumah perlindungan dari zombie.

 

"Filmnya sudah selesai," gumamku sembari menatap layar yang menampilkan teks deretan nama-nama aktor. Para penonton mulai meninggalkan kursinya.

 

Junnu menarik tanganku supaya aku segera meninggalkan kursi. Seperti deja vu. Kalau tadi dia menarikku dalam mimpi untuk menghindari zombie, sekarang untuk alasan lain.

 

Aku berjalan keluar bersama Junnu sambil menguap lebar. Aku bahkan meninggalkan popcorn dan soda yang sama sekali belum kusentuh di kursi penonton karena masih linglung.

Jiwaku masih belum terkumpul sepenuhnya. Aku berjalan sambil terkantuk-kantuk dengan kedua tangan masih mendekap Pyong.

 

"Terima kasih sudah meminjamkan Pyong." Aku menyodorkan boneka anak ayam berwarna kuning itu kepada pemiliknya setelah meninggalkan area bioskop.

 

"Pyong?" gumam Junnu.

 

"Oh! Tadi aku bermimpi aneh.... Maksudku, terima kasih sudah meminjamkan bonekamu selama nonton tadi."

 

Junnu menyentuh puncak kepala Pyong, tapi tidak mengambilnya. "Boneka itu milik Sunbae," tolaknya.

 

"Tadi kau memintanya saat di bioskop! Tapi apa? Ini hadiah buatku karena sudah menjadi mentor yang baik selama kau magang?" protesku, kesal. Kayaknya mimpi menghindari penjaga hingga dikejar anjing dan zombie tadi membuatku lelah.

 

"Tidak. Pyong sudah memilihmu sebagai pemilik baru, maka dari itu memory-mu tidak dihapus," katanya, tenang. "Terima kasih sudah menemaniku Sunbae."

 

"Menemani? Bukannya aku merepotkanmu?" Aku mengerutkan dahi. Sebentar... Sebentar... Aku mulai kebingungan, tercampur dengan memory mimpi yang terlalu realistis.

 

"Terima kasih sudah membimbingku selama magang. Terima kasih sudah membawa benda yang kau pikir nasi kepal, padahal sebenarnya itu bom asap sehingga kita berhasil kabur dari kejaran zombie dan tiba di safe point."

 

Kepalaku jadi agak pening. "Tunggu! Jadi tadi kita benar-benar menjalankan misi? Sungguhan dikejar anjing dan zombie?" tanyaku, tidak percaya.

 

Beberapa pengunjung mall yang ada di dekatku menoleh ke arahku dan Junnu sambil memberi tatapan kebingungan.

 

Junnu tertawa. "Sampai jumpa lagi pada purnama berikutnya." Dia berjalan ke arah luar mall.

 

Wajahku menegang. "Tidak! Aku tidak tertarik ikut misi mengerikan itu lagi. Ambil kembali Pyong. Hei! Junnu! Junnu!"



Archana Universa




An1magine 6 Juni 2021




An1magine (baca: animagine). An1magine Jurnal majalah digital bulanan populer seni, desain, animasi, komik, novel, cerita mini, dan sains ringan yang dikemas dalam format education dan entertainment (edutainment). An1magine (baca: animagine) mewadahi karya kreatif seperti cerita mini, cerita bersambung dalam ragam genre, tutorial, dan komik dalam ragam gaya gambar apa pun.


Download di Playstore dan Google Book

Comments

Popular Posts

PARTNERS

Contact Form

Name

Email *

Message *