PTEROPUS: Matahari di Dalam Bumi
https://riotfest.org/2017/07/dozens-flying-humanoid-sightings-reported-chicago-year/
PTEROPUS:
Matahari di Dalam Bumi
M. S. Gumelar
“Janji?” tanyaku.
“Aku berjanji,” jawab Diana penuh kepastian
*
“Aku ingin tahu sebenarnya seperti apa budaya dan kebudayaan manusia di atas sana? Di atas atau di permukaan tepatnya?” aku meragu.
“Sepertinya tidak penting bukan?” karena juga membingungkan,” dia tersenyum.
“Apakah semua orang di sana memiliki rambut pirang sepertimu?” tanyaku penasaran.
“Bervariasi, ada yang pirang sepertiku, ada yang coklat, coklat kemerahan, hitam, abu-abu bahkan cenderung semuanya akan menjadi putih bila usia kami telah mulai senior,” jawabku.
“Ah kulihat ada beberapa rambutmu yang memutih, kau mulai menjadi senior?” aku menunjuk beberapa rambut putihnya.
“Sepertinya aku mulai menua di sini,” jawabnya sembari tersenyum.
“Berapa lama tepatnya kau berada di sini?” tanyaku.
“Entahlah, kalau perhitunganku tepat, mungkin sudah 79 tahun lebih, sejak 1941,” jawabnya.
“Tapi kau tampak tetap muda, masih sekitar 40an tahun,” pujiku.
“Benarkah?” dia tampak kegirangan.
“Ya, Diana, kau tampak masih berumur 40 tahunan, tidak beda jauh dengan foto yang kau bawa waktu itu yang kau berikan padaku dari sakumu sejak setahun kita bertemu,” jawabku.
“Aaaah … kau baik sekali Bgasr dengan pujianmu, kau masih ingat hal itu,” senyum di wajahnya tampak mengembang.
“Lihat,” pintaku sembari memperlihatkan fotonya yang masih cantik seperti sekarang, kini hanya ada beberapa kerutan tambahan saja.
“Apakah tinggal di sini memperlambat usia?” tanyanya.
“Entahlah, mungkin saja, kau tahu, kau dulu tinggal di tempat asalmu, jauh dari inti Bumi ini, usia lebih cepat bergerak semakin menjauh dari inti Bumi,” jawabku berteori.
“Mungkin saja teorimu benar,” jawab Diana sembari tetap menatapku.
“Apakah kau rindu keluargamu?” tanyaku lirih.
“Aku sangat rindu pada suamiku, tetapi aku tidak tahu bagaimana untuk kembali?” jawabnya, tampak sedikit murung.
*
Ya aku ingat sangat pertama kali bertemu Diana sekitar 79 tahun yang lalu. Saat itu dia tampak ketakutan, entah ketakutan karena apa, tetapi aku ingat benar, dia sangat ketakutan saat melihatku pertama kali.
Hal ini dimulai saat itu aku pergi mencari buah-buahan, makanan kesukaanku adalah melon, ya buah segar dengan kandungan air yang banyak, sekaligus membuat kenyang karena memiliki lapisan padat dan segar.
Berbeda dengan teman-temanku yang mampu terbang dan lebih mudah mencari buah-buahan lebih jauh ke are tertentu. Aku tidak dapat terbang, hanya gliding atau melompat dan melayang dengan memanfaatkan sayap kecil dan tidak lebar ini dari pohon ke pohon dan gua untuk memakan serangga kesukaanku.
Tetapi karena itulah, aku lebih detail dalam menjelajah, sehingga tidak sengaja mataku menangkap sosok aneh.
Sosok aneh itu bersembunyi di antara pohon, jelas sekali menghindariku. Aku tidak menyerah, sehingga berhasil membuatnya terpojok di ujung gua yang buntu.Sosok itu menatapku dengan takut, sementara aku melihatnya dengan takjub.
Sosok itu seperti lukisan-lukisan yang ada di museum kuno yang ada di desaku, sepertinya tidak hanya di desaku, seluruh tempat yang ada museumnya, memperlihatkan sosok itu. Sosok yang kami dilarang untuk mendekatinya, karena sosok itu sangat berbahaya bagi spesies kami.
Tapi rasa tahuku, mengalahkan segalanya. Kudekati sosok tersebut, sosok yang ketakutan.
“Noooo, don’t eat meeee!” teriaknya. Wajahnya tampak ketakutan. Teriakan yang mirip dengan kata-kata kuno sosok yang ada di museum.
Aku tertegun, berhenti mendekatinya. Kemudian untuk berusaha menenangkannya, aku mengambil satu buah melon ukuran kecil, dan kuberikan kepadanya.
Aku menunggu. Menunggu lama, berjam-jam. Kemudian aku putuskan memakan buah melon yang kupunya, dan kemudian aku berikan sepotong kecil kepadanya dengan perlahan.
“Cāppiṭuṅkaḷ,” aku memberi potongan itu kepadanya.
“Cāppiṭuṅkaḷ,” kataku sembari memberikan gerak makan kepadanya. Dia seperti heran dengan ulahku.
Tak kusangka, dia mulai memberanikan diri mengambil buah yang kuberikan, tangannya tampak ragu menjangkau buah yang kuberikan, sepertinya hampir urung dilakukannya, tetapi aku lebih mendekatkan kepadanya.
”Cāppiṭuṅkaḷ,” kataku lagi dengan lembut.
Tap
Diambilnya potongan buah tersebut dari tanganku dan mulai memakannya secara perlahan, kemudian dengan cepat dan lahap.
Aku tersenyum. Tampaknya dia mendadak takut dengan senyumanku. Tapi segera aku ambil buah melon yang kecil yang belum disentuhnya dan kuberikan kepadanya. Dia menerimanya dan meletakkannya lebih dekat di depannya.
Potongan buah melon yang kuberikan kepadanya mulai habis, dan dia mulai mengambil buah melon kecil yang kuberikan.
“Cāppiṭuṅkaḷ,” katanya.
“Cāppiṭuṅkaḷ,” kataku lagi sembari memberikan tanda makan, Cāppiṭuṅkaḷ adalah makan.
“Whats this?” katanya menunjuk ke buah melon.
“Mulāmpaḻam,” kataku, buah melon adalah Mulāmpaḻam.
“Cāppiṭuṅkaḷ Mulāmpaḻam?” katanya dengan menunjuk melon dan gerakan makan.
Aku mengangguk. “Mulāmpaḻam cāppiṭuvatu,” kataku sembari membenahi kata-katanya.
“I am Diana ….” dia menunjuk kepada dirinya.
“... and you?” kemudian dia menunjuk kepadaku.
“Bgasr …,” jawabku perlahan, khawatir suaraku menakutinya.
“Bgasr …,” jarinya menunjuk kepadaku dengan wajah takjub, dan kemudian dia menunjuk ke dirinya,”Diana …,” katanya.
*
Sejak pertemuan itu, kami sering bertemu. Aku merahasiakan di mana Diana tinggal kepada teman-temanku dan keluargaku, aku khawatir Diana akan ketakutan kalau belum siap, dan juga teman-temanku akan ketakutan karena masa lalu yang kelam di sejarah museum, sosok ini adalah sosok yang wajib dijauhi karena cenderung jahat.
Dalam masa-masa itu, kami berusaha saling belajar bahasa di antara kami, satu sama lain, agar memudahkan komunikasi. Setelah sekitar 2 tahunan versi manusia, begitu Diana menyebut spesiesnya, spesies manusia, aku mulai mengerti bahasa yang digunakannya dan dia juga mengerti bahasa yang aku gunakan.
*
“Kau tahu, mungkin spesiesmu dan spesiesku pernah terjadi kontak di masa lalu,” Diana mulai bercerita.
“Benarkah?” kataku tidak percaya.
“Ya, mungkin karena itulah muncul cerita vampir,” ucapnya.
“Vampir, manusia kelelawar yang mengisap darah manusia,” katanya.
“Eeeew ….,” kataku merasa jijik.
“Aku tahu kini, kalian pemakan buah, dan serangga,” Diana tersenyum.
“Tapi kau tahu, manusia itu, takut dengan segala sesuatu yang berbeda dengan mereka, walaupun perbedaan itu sedikit saja, kemudian mereka menciptakan berita bohong untuk menyingkirkan manusia lainnya karena perbedaan itu” ucapnya dengan perasaan sedih.
“Itukah yang membuatmu takut saat bertemu denganku pertama kali?” tanyaku.
“Ya, begitulah …,” jawabnya dengan wajah murung kemudian tersenyum lagi.
“Tapi kini aku tidak takut lagi,” katanya dengan ceria.
“Di masa lalu, kami pernah mengalami pandemik yang disebabkan oleh rabus,” kataku.
“Rabus?” tanya Diana.
“Ya rabus, gejala awalnya demam tinggi, sakit kepala, cemas, sakit tenggorokan, batuk, mual, muntah, tidak nafsu makan, dan rasa sakit atau mati rasa di area yang digigit oleh anjing yang menderita sakit ini,” kataku.
“Anjing?” tanya Diana.
“Ya, banyak penderita yang merasa kebingungan, resah, dan gelisah. Memproduksi lebih banyak air liur, takut dengan air, takut cahaya. Kesulitan menelan, berhalusinasi, bermimpi buruk, dan insomnia. Bernapas secara berlebihan, terkadang kesulitan bernapas. Lebih agresif dan hiperaktif, kejang otot dan kelumpuhan juga bisa terjadi,” jelasku.
“Takut air, takut cahaya, hiperaktif suka menggigit karena cemas dan terancam?” seperti penyakit anjing gila, rabies?” kata Diana.
“Rabies? Sepertinya mirip dengan Rabus,” kataku, dengan dahi berkernyit.
“Aku tahu kini, spesies kalian yang terkena rabies mulai menggigit spesies manusia di masa lalu, sehingga muncul mitos vampir,” ucap Diana dengan wajah tampak gembira karena memahami sesuatu.
“Vampir? Karena Rabus? Rabies?” aku menekankan sembari bertanya.
“Ya!” jawab Diana pasti.
“Jadi sepertinya spesies kita pernah saling bertemu di masa lalu?” kataku.
“Potensi besarnya begitu,” jawab Diana.
*
Suatu hari aku menyelinap dan membawa Diana ke salah satu museum yang ada di desaku.
“Pteropus adalah spesies kami,” aku memberikan info kepada Diana.
“Kau lihat, kami menarik diri dari koneksi dengan manusia karena kami diperlakukan buruk oleh manusia, seperti terlihat di gambar, menarik diri sekitar tahun 1800, 200an tahun di masa lalu,” jelasku sembari menunjuk pada urutan relief manusia terlihat membantai spesies Pteropus menggunakan tombak, pasak, pedang, panah, dan senjata api laras panjang di dalam museum.
“Maafkan aku,” Diana tampak murung.
“Oh, aku tidak menyalahkanmu, kini aku mengerti mengapa hal itu terjadi, karena rabus, rabies yang membuat hal ini terjadi,” jelasku.
“Kita perlu menjelaskan hal ini kepada ketua desa,” jelasku.
“Ketua desa? Apakah dia atau orang-orang di desamu tidak langsung membunuhku saat melihatku?” Diana tampak meragu.
“Entahlah, aku akan mencari cara dan menjelaskan bahwa tidak semua spesies manusia melakukan hal yang buruk dan jahat,” kataku.
“Kau yakin?” tanya Diana.
“Aku yakin!” aku memantapkan kata agar Diana lebih percaya diri.
*
“Bagaimana kau bisa ke sini?” tanyaku suatu hari setelah dari museum.
“Entahlah, terakhir kuingat, aku berada di Pearl Harbor, pada saat itu sekitar 7 pagi Minggu, Desember 7, 1941,” kata Diana.
“Suamiku seorang tentara militer Amerika Serikat, aku mengikuti dia tugas di Pearl Harbor, aku bersama dua orang anakku saat itu sedang berada di taman depan rumah,” lanjutnya Diana.
“Mendadak terjadi dentuman hebat di kejauhan, serangan udara mendadak entah dari mana terjadi. Suamiku sudah berangkat ke kantor, aku dan kedua anakku masuk ke rumah dan bersembunyi di dalam, tapi itu tidak cukup …”
“... satu bom telah mengenai rumahku, mengenai satu anakku, anakku yang terkecil tewas seketika di depan mataku terkena bom,” suara Diana serak tetapi meninggi, karena kesedihan yang luar biasa.
“Kau boleh tidak melanjutkan ceritamu …” ucapku.
“Tidak apa-apa …,” jawab Diana terisak.
“Kugendong anakku yang satunya, kubawa berlari sekuat tenaga menghindari area pengeboman, memasuki suatu gua di dekat hutan, berlari terus berlari ke dalam gua dengan banyak kelokan …”
“... terhenti setelah kelelahan,” ucap Diana.
“Kenyataan pahit lainnya menyesakkanku, anakku yang kugendong terluka, terkena serpihan kaca yang tidak aku tahu, kehabisan darah, meninggal di pelukanku,” Diana menangis terisak, sangat sedih.
Aku menyentuh pundaknya, berusaha menenangkannya.
“Sebenarnya aku tidak tahu bagaimana aku bisa ke sini, aku mencoba berkali-kali jalan ke luar mencoba mencari dan mengingat jalan masuk saat aku ke sini, setelah aku menguburkan anakku di dalam gua,” isak Diana.
“Belum berhasil, sampai aku putuskan untuk melanjutkan sampai di mana gua ini menuju, dan kulihat ada hutan di dalam gua,” jelas Diana.
“Matahari di sini tidak pernah tenggelam, selalu berada di atas,” Diana melanjutkan.
“Kau menemukanku saat aku mencari makanan,” jelas Diana.
“Jadi kau tidak bisa pulang?” tanyaku.
“Sepertinya begitu,” jawab Diana mulai tenang.
“Mungkin … mungkin kepala desa tahu jalan ke arah duniamu?” kataku.
“Mungkinkah?” tanya Diana tampak gembira.
“Kalau dia tidak tahu, aku bisa tanya kepala desa lainnya atau yang mungkin tahu jalan ke sana, bukankah spesies kita pernah berinteraksi di masa lalu?” kataku.
“Ya, mungkin saja bisa …,” mata Diana tampak berbinar.
*
“Ayah, mengapa aku memiliki sayap yang pendek dan berambut lebih jarang tidak seperti Ayah dan Kakakku?”
“Sejarah yang panjang Bgasr,” Jawab ayahku yang menggantung di gua tempat tinggal kami.
“Ceritakan padaku,” pintaku.
“Baiklah,” jawab ayahku.
“Di masa lalu salah satu leluhurmu pernah ke dunia manusia, jatuh cinta dengan salah satu perempuan di sana, cinta dua spesies yang berbeda, entah bagaimana bisa terjadi,” cerita ayahku perlahan.
“Yang jelas leluhur kita tersebut memutuskan tinggal di sana, sampai suatu hari dia kembali ke dunia kita, membawa anak campuran manusia dengan dari istrinya. Istrinya membawa keluarga besar lainnya untuk berlindung di sini, sebanyak 30 puluhan manusia lainnya,” Ayah menghela napas kemudian melanjutkan ceritanya.
“Sayangnya istri leluhur kita membawa penyakit, dan menyebar ke manusia lainnya, tidak hanya itu penyakit itu juga mengenai pteropus lainnya,” jelas ayahku.
“Kekacauan terjadi karena leluhur kita, leluhur kita dulunya adalah kepala desa secara turun temurun, setelah kejadian itu, leluhur kita masih ada yang selamat, dan Ayah adalah salah satu keturunan mereka,” jelas ayahku.
“Karena kau masih memiliki sedikit gen dari manusia, potensinya adalah akan selalu muncul sayap pendek, jarang rambut, dan kesulitan untuk terbang, tetapi hanya melayang memanfaatkan sayap pendek lompat dari pohon atau bukit tempat yang tinggi ke area rendah untuk mencari makanan,” ayah berkata sembari mengusap kepalaku.
“Bgasr, jangan sedih, kau bagiku adalah pteropus tercantik yang pernah ayah lihat,” puji ayah.
“Makasih Yah,” aku gembira. Bukan gembira karena dipuji cantik, tetapi ternyata sejarah leluhurku berkoneksi dengan manusia kini terulang lagi terjadi denganku.
“Kini tidurlah dengan tenang, dan bermimpi indah,” kata ayahku yang mulai melingkupi tubuhnya dengan sayapnya yang panjang dan besar saat menggantung untuk beristirahat.
*
“Baiklah Bgasr, kau membawakanku banyak makanan hari ini, apa yang kau mau?” tanya ayah.
Ayah selalu tahu, kalau aku sedang memerlukan sesuatu, selalu menyuapnya dengan banyak makanan.
“Aku harap Ayah tidak akan marah,” pintaku.
“Bgasr kenapa Ayah marah padamu, kau anak Ayah yang paling cantik dan paling bijak yang pernah Ayah tahu di seluruh Bumi ini,” jawab ayah.
“Sungguh, tidak marah?” tanyaku lagi meyakinkan ayah apakah dia bersungguh-sungguh.
“Iya Bgasr,” ucap ayah sembari mengelus kepalaku.
“Baiklah Ayah, kenalkan Diana,” kataku perlahan dan berhati-hati sembari menunjuk ke suatu arah.
Kemudian secara perlahan Diana muncul dari area tersembunyi dan menggerakkan tangannya seolah mengucapkan hello.
Ayah langsung berjingkat dan menggantung ke area gua yang paling tinggi. “Manusia! Bgasr apa kau gila, dia bisa membunuh kitaaaa!” teriak ayah.
Diana kembali mundur dan sembunyi di area semula melihat reaksi ayahku.
Aku segera melompat ke area tinggi mendekati ayahku yang sedang menggantung tampak ketakutan.
“Ayah, tenaaaaaang,” kataku dengan perlahan,”dengar … aku sudah berteman lama sekali dengannya dan dia tidak jahat dan berbahaya seperti yang kau pikir,” ucapku menenangkannya.
“Benarkah?” tanya ayahku.
“Benar, tidak semua dari mereka jahat, ada yang baik, dan Diana adalah temanku, dia baik selama ini, tidak pernah menyakitiku,” jelasku.
“Sungguh?” tanya ayahku.
“Sungguh, tidakkah kau lihat aku baik-baik saja,” ucapku.
“Dia tidak menderita penyakit rabus?” tanya ayahku.
“Tidak, dia sehat dan tidak menularkan penyakit rabus,” jawabku.
Ayah melepaskan gantungannya dan mulai turun. Aku menyusulnya, melompat ke bawah dengan melayang.
Aku membimbing tangan ayah ke area di mana Diana bersembunyi. Diana secara perlahan mulai menunjukkan wajah kemudian badannya ke luar dari area persembunyian.
“Hai,” kata Diana kepada ayahku.
“Dia dia dapat berbicara bahasa kita?” tanya ayahku tanpa menoleh kepadaku dengan tetap melihat ke Diana dengan takjub.
“Ya, kami belajar bahasa satu sama lain, dia mengerti apa yang kita katakan,” jelasku.
“Bagus bagus,” kata ayahku.
“Namaku Klaig,” ucap ayahku.
“Aku Diana, teman Bgasr,”
“Whaoow dia bisa bahasa kita, luar biasaaa!” teriak ayahku sembari melihatku dengan kegirangan.
Diana tampak tersenyum dan gembira dengan suasana ini, dia mengulurkan tangannya untuk bersalaman ke arah ayahku.
Ayahku tidak mengerti. “Lakukan hal yang sama, ulurkan tanganmu untuk menjabat tangannya,” kataku.
Ayahku dengan perlahan mengulurkan tangannya yang panjang meraih tangan Diana yang lebih kecil dengan ragu-ragu, tetapi dilakukannya juga.
“Hai senang berkenalan denganmu,” kata Diana sembari menggenggam tangan ayahku sebisanya.
“Whaow, Bgasr kau miliki teman yang luar biasa!” puji ayahku.
*
“Oh jalan ke duniamu?” tanya ayahku kepada Diana kemudian melihat kepadaku.
“Entahlah, seperti cerita mitos yang diturunkan turun temurun,” jawab ayahku.
“Apakah ada jalan ke sana?” tanyaku dengan penuh rasa ingin tahu.
“Tentu saja ada, leluhur kita pernah melakukannya, dan temanmu, Diana berada di sini bukan?” jawab ayahku.
“Ah iya, maksudku ayah tahukah tepatnya di mana?” tanyaku.
“Bukankah mudah, di mana gua Diana muncul atau berasal? Masih ingatkah letak guanya?” tanya ayahku.
“Ya aku masih ingat,” jawab Diana.
“Kini yang kita lakukan adalah dengan menelusuri setiap percabangan yang ada dengan cara memberi tanda, atau tali, bila ketemu akan mudah untuk memetakannya,” jawab ayahku.
“Baiklah, ayo kita buat tali dari kulit pohon dengan ragam warna,” usulku.
*
Sekitar dua bulan kemudian. Aku, ayah, dan Diana sudah berada di depan gua di mana Diana muncul di sana.
“Persiapan selesai, yuk mulai menjelajah dan memetakan,” ayahku mengajak dengan semangat.
“Sebaiknya kita bertiga menjelajah,” usulku,”agar tidak terpisah.”
“Baiklah, aku menandai petanya,” Diana membawa kulit pohon yang besar dengan pena penanda warna.
“OK, kita mulai,” ajak ayahku lagi.
Kami mulai menjelajah lorong demi lorong, percabangan demi percabangan, sejauh ini belum berhasil. Kami kelelahan dan memutuskan untuk beristirahat.
“Semua percabangan dari awal gua telah kita petakan, sejauh ini masih belum ketemu,” keluhku.
“Apakah leluhur kita menggunakan alat canggih untuk membuka jalan ke dunia Diana?” tanyaku kepada ayah.
“Sepertinya tidak, tidak disebutkan, dan apakah kau ke sini menggunakan alat tambahan Diana?” tanya ayah kepada Diana.
“Seingatku tidak,” jawab Diana.
“Nah sudah jelas, tidak menggunakan alat tambahan apa pun,” ayah menekankan.
“Mengapa kita belum berhasil?” keluhku.
“Entahlah,” jawab ayahku.
“Apakah ada cerita yang kau lewatkan ayah dari cerita lengkap leluhur kita?” tanyaku.
“Coba aku ingat-ingat,” jawab ayahku.
“Ah ayah ingat, leluhur kita menceritakan akan adanya frekuensi yang random,” ayahku tersenyum.
“Frekuensi yang random?” tanyaku menekankan.
“Iya, frekuensi yang random. Bukan frekuensi seberapa sering kau datang ke suatu tempat atau berapa kali putaran kau melakukannya, bukan frekuensi itu, tetapi frekuensi radio,” jelas ayahku.
“Frekuensi radio di mana kita mendengarkan musik, hiburan, dan berita melalui radio?” tanya Diana.
“Radio?” tanyaku.
“Aku juga tidak tahu apa itu radio,” kekeh ayahku,”tapi sepertinya Diana tahu apa itu radio.”
“Ya aku tahu, radio, alat yang menerima gelombang yang dipancarkan dalam frekuensi tertentu oleh suatu stasiun penyiar,” jawab Diana.
“Eeeeeee …” aku bengong.
“He he he,” ayahku tertawa melihatku.
“Bumi ini memiliki frekuensi sendiri untuk setiap dunia yang dihuni oleh setiap spesies tertentu. Di area tertentu, saat tertentu, frekuensi ini terbuka secara alami,” ayahku melanjutkan tanpa peduli dengan kebingungan yang kualami.
“Masuk akal,” Diana bereaksi.
“Karena pada saat frekuensi dunia ini terbuka atau frekuensi duniamu bersentuhan dengan frekuensi duniaku, aku di waktu yang tepat dan di area yang tepat terbawa melalui salah satu percabangan gua ini memasuki frekuensi duniamu,” jelas Diana sembari melihat ke arahku yang masih belum paham dan kemudian melihat ke ayahku.
“Ada yang salah dengan teori itu, mengapa leluhurku bisa ke duniamu dan kembali lagi ke duniaku di masa lalu, sepertinya tidak menunggu frekuensi random tersebut,” ucapku sok tahu.
“Sepertinya anak ayah yang genius Bgasr, Benar,” ucap ayahku.
“Ada potensi salah satu percabangan yang ada di gua ini berpotensi memiliki sambungan antarfrekuensi dua dunia secara permanen,” ucap ayahku.
“Teorinya demikiaaaaaan ….,” tambah ayahku.
“Begini, tinggal kita mencari area percabangan di gua ini yang mengarah ke sana bukan?” tegasku.
“Bukankah ini yang kita lakukan sekarang?” jawab ayahku.
*
Enam bulan telah berlalu, kami mulai putus asa, tidak ada satu pun petunjuk yang mengarah ke percabangan gua yang dimaksud, sudah semua area dijelajahi dan dipetakan, semuanya buntu.
Saat kami beristirahat di rumah ayahku. Aku tertidur di atas tempat yang tinggi, sedangkan Diana di bawah, ayahku membuatkannya tempat yang nyaman untuk dia tidur, dan ayahku sedang menggantung di atas terlelap.
Mendadak kakakku yang tertua dan sudah berkeluarga, tinggal jauh dari rumah ayah, muncul.
“APA INIIIII? MANUSIAAAAA?” teriaknya dengan ketakutan dan tanda tanya.
Aku dan ayah segera terbangun dan berusaha menenangkannya yang tengah blingsatan geraknya ke sana kemari karena ketakutan.
Diana pun terbangun dan menunggu kami berupaya menenangkannya. Tak berapa lama kakakku terlihat lebih tenang dan dibimbing olehku dan ayahku untuk mendekati Diana. Aku perkenalkan Diana kepada kakakku, kakakku masih ragu.
“Ah ayolah, kau lihat, kami berdua telah tinggal lama dengan Diana dan tidak apa-apa, dia tidak jahat,” ucapku.
“Be benarkah?” tanyanya.
Diana tersenyum dan berbicara dalam bahasa kami. “Ya benar, aku tidak jahat, namaku Diana,” jelasnya sembari berkenalan.
“Di dia bisa bicara?” Kakakku kagum dan mulai mendekat lebih dekat lagi dari semula.
“Ya, bisa, siapa namamu?” tanya Diana.
“Majhu,” jawab kakakku.
“Baik Majhu, senang berkenalan denganmu,” jawab Diana sembari tersenyum.
“Wooo dia ramah?” tanyanya melihat kepadaku dan kepada ayah.
“Sangat ramah, berbeda jauh dengan cerita yang ada di relief museum,” jawab ayahku.
“Oh … begitu, menakjubkan,” kata kakakku.
“Jadi bagaimana dia bisa berada di sini?” tanya kakakku.
*
“Begitulah ceritanya,” kata ayahku mengakhiri ceritanya mengapa Diana bisa berada di sini.
“Oh sedih sekali, bolehkah aku membantu untuk menemukan jalan Diana pulang ke dunianya?” tanya Kakakku.
“Please,” pinta Diana.
Aku terharu dengan hal ini, Kakakku ternyata peduli,”Terima kasih Kak,” ucapku tulus.
“Baik, mari kita mulai besok,” ajak kakakku semangat.
*
“Benar, semua percabangan gua ini telah terpetakan dan belum ketemu di mana tepatnya percabangan di mana Diana berhasil memasuki frekuensi dunia kita,” keluh kakakku.
“Ah kau mulai mengeluh Kak, padahal baru satu hari he he he,” jawabku.
“Bukan itu, pasti ada yang terlewat,” kakakku membela diri.
“Kalau tinggal di sini selamanya juga tidak apa-apa bagiku,” Diana tampak mulai berputus asa juga.
“Aku suka di sini, selalu siang hari terus, tidak ada malam,” Diana melanjutkan.
“Aku malah ingin tahu, apa maksudmu dengan malam?” kataku penasaran.
“Malam terjadi karena Bumi mengelilingi matahari. Bumi juga berputar di pusat porosnya, sehingga bergantian sisi yang terkena sinar matahari, hal ini menyebabkan siang dan malam,” jelas Diana.
“Kalau di sini, matahari hanya bergerak di porosnya sendiri, yang kau sebut Bumi sebenarnya adalah kerak luar dari matahari kami, untunglah ada area kosong antara matahari kami dengan Bumi sebagai kerak, sehingga bagian permukaan dalam kami tinggal, dan permukaan luar manusia tinggal di sana,” jelas ayahku.
“Ya, kau lihat seperti buah alpukat ini, di dalamnya umpamanya matahari kami adalah biji alpukat, dan ada ruang di antara lapisan buah yang bagian permukaan dalam kami tinggal di sana, dan bagian luar kerak manusia tinggal di sana,” tambah kakakku menunjukan buah alpukat matang yang besar dengan biji kecil dan rongga ruang yang besar dengan lapisan buah tebal yang kemudian dilahapnya.
“Penjelasan yang masuk akal,” jawab Diana.
“Ya begitulah” ucap kakakku kemudian menyandarkan tangannya dengan kuat ke dinding.
BRRRRREEEEEEEKKKH!
Dinding gua bergeser sedikit dan membuka celah sedikit. Celah yang kemudian diintip oleh kakakku, dibongkarnya sehingga tampak lebih lebar. “Sepertinya gempa menutup area ini?” jelas kakakku.
“Percabangan baru!” teriak ayah dan aku hampir bersamaan.
*
Seminggu kemudian, 1 Oktober 2020. Di kejauhan, saat malam hari, di salah satu area pemakaman Pearl Harbor.
Diana terisak di atas pusara suaminya yang tewas. Menaburkan bunga.
“Semoga kau dan anak-anak damai di alam sana,” bisik Diana. Kemudian Diana berdiri dengan gontai ke arah luar area pemakaman.
“Aku turut berduka,” ucap Majhu yang menunggu, menggantung di salah satu pohon besar yang ada di sana.
“Terima kasih Majhu, mari kita pulang,” ajak Diana.
Diana naik ke punggung Majhu dan terbang ke suatu arah.
“Kami pulang,” kata Diana dan Majhu bersamaan.
Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan kami di masa depan di dunia manusia ini, akankah berakhir di sini karena dibantai oleh manusia?
Tetapi kami berusaha untuk membuka diri dengan perantara Diana. Aku, Majhu dan ayah akan menjadi penghubung dengan dunia manusia untuk melakukan koneksi dan komunikasi berikutnya. Diana berjanji.
“Janji?” tanyaku.
“Aku berjanji,” jawab Diana penuh kepastian
*
M.S. Gumelar
WA +6287786666745
Cerita mini (cermin) ini terpublikasi juga di An1magine September 2020
An1magine Volume 5 Nomor 9 September 2020
Jurnal majalah bulanan populer seni, desain, animasi, komik, novel, cerita mini, dan sains ringan yang dikemas dalam format education dan entertainment (edutainment). An1magine mewadahi karya cerita mini, cerita bersambung dalam ragam genre, tutorial, dan komik dalam ragam gaya gambar apa pun. Jurnal majalah An1magine ini dapat diakses (open access system). Silakan klik link di atas untuk mengunduhnya.
An1magine edisi ini dapat diunduh juga di An1mage Journal, iteks, Play Store, dan Google Book. Silakan klik link aktif yang ada untuk mengunduhnya. Gak mau ketinggalan berita saat An1magine terbit? Gabung yok di An1mareaders WA Group, Facebook, Instagram, Twitter
inovel
Gabung di An1mage WA Grup untuk workshop, tutorial, pelatihan, dan membahas puisi, cerita mini, cerita pendek, novel, dan scenario untuk diterbitkan dan atau difilmkan, jangan ngabisin waktu nungguin chat, mari berkarya nyata, terlibat dalam produksi secara langsung, gabung dengan mengirimkan pesan WA ke Aditya PIC: 0818966667 atau dapat juga gabung di inovel facebook group.
ikomik Gabung di An1mage WA Grup untuk workshop, pelatihan, tutorial, dan membahas komik untuk diterbitkan, dianimasikan dan atau difilmkan, jangan ngabisin waktu nungguin chat, mari berkarya nyata, terlibat dalam produksi secara langsung, gabung dengan mengirimkan pesan WA ke PIC Aditya: 0818966667 atau dapat juga gabung di ikomik facebook group.
iluckis Gabung yuk di grup WA iluckis, tempat para pelukis berkarya, berpameran, dan berpublikasi, karya lukisanmu dapat dipublikasikan secara gratis di majalah An1magine yang terbit bulanan dan beredar sejangkauan jari di Play Store yang berdampak pada promosi karya dan namamu agar lebih dikenal , gabung dengan mengirimkan pesan WA ke Aditya PIC: 0818966667 atau dapat bergabung di iluckis facebook group.
icosplayer Para cosplayer yang keren-keren, gabung yuk di icosplayer WA grup, foto kalian yang menggunakan kostum bisa masuk ke majalah digital An1magine yang terbit bulanan, gabung dengan mengirimkan pesan WA ke WA ke Aditya PIC: 0818966667 atau dapat pula bergabung di icosplayer facebook group.
Comments
Post a Comment