KETUMBRA
KETUMBRA
Archana Universa
“Ketumbra,” kata kakek.
“Ketumbar?” tanyaku mencoba mengoreksinya.
Kakek menggeleng kemudian menoyor kepalaku dengan gemas. “Kubilang ketumbra.”
Apa sih maksudnya? Aku mengerutkan kening, Kerutan di dahiku jadi hampir sebanyak kerutan di dahi kakek. Tentu saja tidak permanen.
“Besok kita berangkat. Bangun pagi!” perintahnya sambil menutup gorden pintu kamarku dan keluar.
“Tapi kakek tahu aku selalu bangun siang!” protesku. Tidak ada balasan.
Aku menarik selimut hingga ke dagu. Bukan karena kedinginan, tapi supaya tidak digigit nyamuk. Nyamuk di sini ganas sekali.
Sepertinya minum darah saja tidak cukup. Mereka butuh lebih. Rasanya nyamuk-nyamuk di sini juga menyedot giziku jadi aku sulit gemuk. Mari coba lihat sisi positifnya saja.
Aku memejamkan mata, tapi tidak tidur. Kadang aku iri dengan tipikal manusia yang asal rebahan di kasur saja sudah langsung pulas. Ingin rasanya begitu. Mungkin jika aku bisa begitu, sifat overthinking-ku ini bakal menurun hingga 90% karena kebanyakan otakku ini bekerja saat akan tidur.
Lucunya, itu berarti 90% masalahku juga hanya ada dalam pikiranku saja. Memikirkan hal-hal yang belum pasti terjadi. Sayangnya yang dipikirkan opsi yang buruk saja, bukan yang baik.
Sama seperti malam-malam sebelumnya, aku memikirkan hal yang sama. Aku menimbang-nimbang apakah punya pilihan lain, tinggal terpisah dari kakek. Mungkinkah hidupku bakal lebih menyenangkan?
Jawabannya selalu ada dua, ya dan tidak. Aku sendiri tidak pernah menemukan jawabannya karena tidak pernah kulakukan. Sejak ibuku meninggalkanku untuk tinggal bersama kakek, aku belum pernah berpisah dengan orang yang merawatku sejak bayi.
“Kakek, apa yang telah kau sadari setelah menua?” kuapku.
Kejam! Kakek benar-benar membangunkanku padahal aku baru bisa tidur subuh, baru beberapa jam. Sudah kebiasaan, mungkin tubuhku sudah bermutasi jadi nocturnal.
Sebentar lagi kekuatan superku akan muncul, tapi itu jelas hanya impianku saja. Aku normal, tidak punya superpower. Membosankan.
“Menua? Omong kosong! Aku tidak menua, nak. Aku tetap merasa masih muda meski seluruh rambutku sudah putih dan sudah banyak kerutan di tubuhku!” serunya, terkekeh.
Aku ingin membuka mulut buat protes. Namun akhirnya aku diam saja berhubung kantukku ini masih kuat. Aku kemudian tetap membuka mulut, buat menguap.
“Jangan berjalan sambil tidur begitu, kau bakal jatuh ….”
Brak!
Aku meringis kesakitan. Tersandung akar pohon pagi-pagi buta bukanlah hal yang bagus buat mengawali hari ini. Ini bukan firasat, aku tidak percaya takhayul atau tuyul. Hanya saja kejadian buruk di awal hari biasanya akan menghinggapiku seharian. Emosiku buruk dan aku tidak berusaha memperbaikinya. Suka atau tidak suka, inilah aku.
“Bangun,” kata kakek tanpa menghentikan langkahnya buat menengok keadaanku.
“Kita mau ke mana sebenarnya?” keluhku sambil membersihkan lutut dari tanah dan daun kering.
“Ketumbra, bukankah aku sudah memberitahumu semalam?” omelnya. “Siapa yang lebih pantas pikun di antara kau dan aku?”
Ya. Ya. Ketumbar eh … ketumbra. Entah apa maksudnya. Entah apa tujuannya. Memangnya aku harus ikut? Aku masih ingin memeluk guling kumalku, tolong ….
“Tentu kau harus ikut. Aku ingin kau bersamaku, mengantarku,” jawab kakek dalam nada tenang. Dia tidak bisa membaca pikiran. Tanpa sadar aku mengucapkan pikiranku.
Setelah jatuh tadi, kantukku lebih berkurang. Aku masih ingin berada di kamarku, tapi setidaknya sekarang indraku mulai bekerja dengan baik.
Tidak akan tersandung lagi, pokoknya tidak akan. Memalukan! Bahkan kakek saja lebih gesit dariku. Entah dari mana dia memiliki stamina sebanyak itu di umurnya yang sudah hampir seabad.
Aku mulai memerhatikan sekelilingku. Pohon-pohon dengan batang keriput dengan ranting-ranting di atasnya berselimut kabut. Bukan karena mataku minus, tapi daun-daun di atas sana memang tidak kelihatan tersembunyi kabut.
Suhu yang cenderung selalu rendah karena kabut dan curah hujan yang cukup tinggi di area sini membuat banyak lumut tumbuh di sana-sini. Aku menjaga keseimbanganku supaya tidak terpeleset.
Di samping kananku terdapat rawa-rawa yang permukaan airnya juga berlumut. Mungkin ada koloni buaya yang tinggal di sana.
Setelah ini aku harus mencari tahu apa saja kegunaan dari lumut. Siapa tahu ada khasiat tersembunyi. Tidak harus di konsumsi, intinya dimanfaatkan. Setelah tahu manfaatnya, aku akan menjual lumut-lumut di sini dan menjadi kaya karenanya.
OK, ini tentu hanya melantur seperti biasanya. Keahlianku selain overthinking hal-hal negatif adalah melantur. Setidaknya imajinasiku tinggi. Seandainya aku bisa mengonversi imajinasiku jadi uang pasti aku sudah kaya raya.
"Rasanya seperti sedang berjalan dalam negeri dongeng, bukan?" Pertanyaan kakek memecah keheningan. Yah, sebenarnya tidak benar-benar hening, sih. Banyak hewan di hutan ini yang mengeluarkan bunyi hanya saja sejak aku jatuh tadi, kami belum ngobrol lagi.
“Di depan sana akan lebih epic lagi!” serunya, bersemangat.
“Apakah masih jauh?” keluhku.
“Tidak jauh, tidak juga dekat. Tergantung staminamu.”
“Menurut kakek pasti dekat,” gerutuku.
“Menurutmu pasti jauh,” ejeknya.
Aku sudah sadar sejak lama kalau aku butuh lebih banyak begerak, olahraga. Tapi kesadaaran itu tidak mengubah kegiatanku sehari-hari karena aku ini manusia yang konsisten.
“Serius, kau tidak akan menyesalinya. Pemandangan di depan sana benar-benar menawan. Spektakuler! Aku jamin itu!” seru kakek.
Kemudian ia bersiul. Lagu yang selalu di nyanyikannya. Lagu yang tidak pernah kuketahui judul atau liriknya. Hanya tahu nada.
Aku nyaris mengeluh lagi karena ini benar-benar sudah cukup jauh masuk hutan. Kalau masuknya saja lama, berarti nanti balik ke rumahnya juga lama kan? Aku tidak tahu apa aku punya sisa energi buat pulang nanti.
Namun beruntung keluhanku belum terucap ketika kami sampai ke padang bunga. Kalau kakek mengatakan ada peri yang tinggal di hutan ini, aku bakal percaya.
“Aku tidak bohong kan?” tawa kakek.
“Apa? Di sini ada peri?” tanyaku, polos.
“Peri?” ulangnya sambil mengerutkan dahi.
“Kuharap peri ada. Mungkin ada, makhluk cerdas kecil yang punya sayap… tapi aku belum pernah menemukan seekor pun meski sudah bolak-balik ke sini.”
“Untuk apa?” tanyaku.
“Ketumbra.”
Ah! Lagi-lagi jawaban itu. Jawaban yang seolah tidak memberi jawaban.
“Kau akan tahu saat melihatnya.” Kakek menyambung ucapannya.
Pohon itu tegak menjulang, tidak hanya satu, ada banyak sebenarnya. Hanya saja yang sungguh besar mengalahkan lainnya ada satu. Paling menonjol. Mungkin usianya sudah ribuan.
“Wow!” seruku. Satu kata yang mewakili segala kekagumanku.
“Pohon yang seolah tidak dimakan usia. Menolak untuk menjadi tua,” jelas kakek, tanpa diminta.
“Tidak bisa menua? Tidak bisa mati?” gumamku, takjub.
“Ketumbra menua dengan sangat lambat. Kau mungkin berpikir dia berhenti menua. Tidak, dia hanya dapat hidup panjang. Tentu saja jika dia selamat dari kepunahan atau bencana besar. Boleh dikatakan nyaris abadi. Namun hidup ini fana. Semua memiliki masa hidup sendiri.”
Aku duduk di salah satu batu besar.
“Menakjubkan. Lalu apa?”
“Menyadarkanku kalau umur manusia termasuk singkat dibanding pohon ini. Bahwa waktu kita hidup sangatlah terbatas.”
“Bagus. Setelah mati, kita akan hidup sebagai makhluk lainnya. Petualangan baru.”
“Kau percaya reinkarnasi?” Kakek mengerutkan dahi, membuat keriputnya makin banyak.
“Bahwa yang hidup akan mati. Dan yang mati akan hidup kembali dengan kehidupan baru. Ya. Aku percaya itu,” kuapku.
“Ah! Kau luar biasa.”
“Itu pujian atau cemoohan?” tuntutku.
“Dasar tukang negatif thinking,” ujarnya.
“Dasar tukang menggerutu,” balasku. Aku membenahi posisi dudukku. “Jadi kita sudah kemari. Menemui Ketumbra. Selanjutnya apa?”
“Selanjutnya aku akan pergi. Aku bilang ingin kau mengantarku, ingat?”
Hatiku mencelos. “Kakek kau mau bunuh diri? Ingin aku menyaksikannya? Kenapa?”
Kakek menoyor kepalaku dengan gemas.
“Yang benar saja!”
“Kau bilang aku mengantarmu ….”
“Gerbang antardimensi,” potongnya, cepat. “Kau lihat lubang di sana? Aku akan masuk ke sana, pergi ke dunia yang baru.”
“Kenapa? Kau belum tentu bisa bertahan di tempat yang akan kau tuju. Kakek tahu akan pergi ke mana?” tanyaku, panik.
“Konon tujuannya random. Aku sudah melihat berbagai makhluk aneh keluar dari sana.”
“Mereka tidak menyakitimu?” tanyaku.
“Kau lihat aku masih baik-baik saja.”
“Kau pasti mengawasi Ketumbra dari jauh kan? Jangan pergi,” pintaku.
“Aku penasaran. Lagi pula aku sebagai manusia aku sudah hidup cukup panjang. Aku ingin petualangan baru. Kau juga sudah bisa menjaga dirimu sendiri,” ungkapnya.
“Jika selamat, apa kakek berniat untuk kembali ke dimensi ini?”
“Jangan menungguku.” Kakek memberiku pelukan, sekejap. Lalu mulai berbalik. “Selamat tinggal.”
Pertanyaan itu berkelebat di benakku. Tinggal terpisah dari kakek. Mungkinkah hidupku bakal lebih menyenangkan? Aku tidak tahu. Mulai sekarang aku akan tahu.
Aku masih duduk di batu besar dekat Ketumbra berdiri kokoh dalam diam. Sesekali angin menggoyangkan dahannya, menjatuhkan daun-daun kering. Namun dia tetap di sana, seolah tidak menua.
Bagaimana pohon ini merupakan portal dimensi. Bukan alat canggih dengan kilatan aneh. Hanya pohon, dengan lubang di salah satu sisinya. Lubang yang jalan keluarnya menuju dunia lain yang random.
Mungkin kau akan tiba di luar angkasa tanpa oksigen dan mati dalam beberapa saat. Mungkin menuju lautan dengan berbagai monster yang belum pernah kau bayangkan.
Mungkin Ketumbra akan membawamu ke permukaan matahari, membuatmu terbakar tak bersisa. Atau mungkin dia akan membawamu ke tempat yang indah bak negeri dongeng dengan pemandangan yang menawan. Tempat para peri tinggal.
Aku tidak tahu tempat macam apa yang kakek tuju. Kami tidak bisa berkomunikasi antar dimensi. Aku juga tidak masuk ke dalam lubang Ketumbra bersamanya. Kami sudah terpisah.
Kejadian buruk di awal hari biasanya akan menghinggapiku seharian. Ini bukan soal jatuh karena tersandung saat tadi pagi. Ini soal kepergian kakek.
Kata-kata itu kuputar lagi dalam otakku. Kata-kata kakek. “Jangan menungguku.”
*
Archana Universa
Cerita mini ini terpublikasi juga di An1magine September 2020
An1magine Volume 5 Nomor 9 September 2020
Jurnal majalah bulanan populer seni, desain, animasi, komik, novel, cerita mini, dan sains ringan yang dikemas dalam format education dan entertainment (edutainment). An1magine mewadahi karya cerita mini, cerita bersambung dalam ragam genre, tutorial, dan komik dalam ragam gaya gambar apa pun. Jurnal majalah An1magine ini dapat diakses (open access system). Silakan klik link di atas untuk mengunduhnya.
An1magine edisi ini dapat diunduh juga di An1mage Journal, iteks, Play Store, dan Google Book. Silakan klik link aktif yang ada untuk mengunduhnya. Gak mau ketinggalan berita saat An1magine terbit? Gabung yok di An1mareaders WA Group, Facebook, Instagram, Twitter
inovel
Gabung di An1mage WA Grup untuk workshop, tutorial, pelatihan, dan membahas puisi, cerita mini, cerita pendek, novel, dan scenario untuk diterbitkan dan atau difilmkan, jangan ngabisin waktu nungguin chat, mari berkarya nyata, terlibat dalam produksi secara langsung, gabung dengan mengirimkan pesan WA ke Aditya PIC: 0818966667 atau dapat juga gabung di inovel facebook group.
ikomik Gabung di An1mage WA Grup untuk workshop, pelatihan, tutorial, dan membahas komik untuk diterbitkan, dianimasikan dan atau difilmkan, jangan ngabisin waktu nungguin chat, mari berkarya nyata, terlibat dalam produksi secara langsung, gabung dengan mengirimkan pesan WA ke PIC Aditya: 0818966667 atau dapat juga gabung di ikomik facebook group.
iluckis Gabung yuk di grup WA iluckis, tempat para pelukis berkarya, berpameran, dan berpublikasi, karya lukisanmu dapat dipublikasikan secara gratis di majalah An1magine yang terbit bulanan dan beredar sejangkauan jari di Play Store yang berdampak pada promosi karya dan namamu agar lebih dikenal , gabung dengan mengirimkan pesan WA ke Aditya PIC: 0818966667 atau dapat bergabung di iluckis facebook group.
icosplayer Para cosplayer yang keren-keren, gabung yuk di icosplayer WA grup, foto kalian yang menggunakan kostum bisa masuk ke majalah digital An1magine yang terbit bulanan, gabung dengan mengirimkan pesan WA ke WA ke Aditya PIC: 0818966667 atau dapat pula bergabung di icosplayer facebook group.
Comments
Post a Comment