BADAI
BADAI
Archana Universa
"Banyak yang berkata kita sedang berada di perahu yang sama menghadapi wabah ini. Tapi itu tidak benar. Kita berada di laut yang sama. Di perahu yang berbeda."
Ya. Itu benar. Badainya boleh dirasakan banyak orang bersamaan. Tapi ada yang tetap bisa bersenang-senang. Makanan dan hiburan yang cukup. Banyak yang lain berada di perahu kecil terombang-ambing. Ada pula yang berpegangan pada batang kayu. Ribuan jiwa lainnya sudah tenggelam, tidak mengambang di permukaan, tertarik gravitasi bumi menuju paling dasar. Gelap dan basah.
"Hei! Kopi?" tawar Meello sembari menyodorkan secangkir kopi padaku.
Aku tersenyum. Mengambil minuman dengan asap mengepul itu. Pura-pura menyesapnya, padahal tidak setetes pun masuk ke mulutku. Giliran aku yang menawarinya roti yang sejak tadi ada di sampingku.
Menemaniku memandangi lautan gelap. Air bergejolak tanpa aba-aba membuat pantulan bulan di atas sana seperti sedang menari.
Kadang jika kami berpapasan cukup dekat dengan kapal besar, penglihatanku jadi lebih baik karena penerangan mereka sampai ke kapal ini. Mello mengambil sepotong roti kemudian mengunyahnya.
"Badainya luar biasa. Seluruh lautan dibuat repot."
"Ya. Banyak yang sudah kalah. Kita bertahan sejauh ini," gumamku sambil menaruh cangkir kopi bersebelahan dengan piring roti.
"Katakan kita beruntung, sobat," tawanya kering. Meello bersenandung pelan ketika suara musik datang terbawa angin. Entah dari perahu yang mana, aku tidak peduli. Aku bahkan tidak tahu lagu yang ia nyanyikan.
"Tapi apakah kau cemas. Badainya berlangsung terlalu lama, sementara kita belum sempat bangkit. Mungkin... mungkin saja kita juga akan menyusul ke dasar lautan," gumam Meello setelah menghabiskan roti.
"Mau lagi?" tawarku.
Meello mengangguk. "Aku lapar sekali. Tidak tahu kalau kau buat roti."
"Tepungnya ada banyak. Sementara aku sedang bosan makan nasi untuk mengisi perut," jawabku.
Meello mengangguk sekali lagi. "Bagus. Aku menyukainya."
Aku memberikan piring rotiku padanya. "Kau ingin besok aku buatkan lagi?"
"Tidak. Tidak. Ini cukup." Meello memberi jeda selama beberapa saat sebelum bicara lagi.
"Rotimu enak sekali. Lagipula kita harus berhemat dengan tepungnya. Tidak tahu kapan badai ini bakal jinak ...."
Aku bergeming.
"Kau tidak menyukai kopiku?" Meello memerhatikan cangkirku yang terlihat masih penuh.
"Aku sudah meminumnya sedikit. Kau tahu aku tidak terlalu suka kopi menjelang tidur. Tanpa kopi saja aku sudah sulit tidur," kataku tanpa ditanya. Aku bisa menangkap apa yang dipikirkannya.
"Tapi kurasa mau aku minum atau tidak, sepertinya malam ini aku tidak bisa tidur. Jadi...." Aku mengulurkan tanganku untuk mengambil cangkir berisi kopi buatan Meello.
Ombak besar datang. Meello menyelamatkan rotiku. Sementara aku menumpahkan kopi ke dek kapal.
"Ya ampun!" seruku kaget. "Maaf Meello."
Meello terlihat kaget, tapi kemudian dia memberi senyuman.
"Tidak masalah sobat. Kau mau aku buatkan minuman lain? Teh hangat?" usulnya.
Aku menggeleng. "Mungkin besok pagi saja. Duduk saja di sini bersamaku. Bukankah kau datang untuk ngobrol?"
Meello yang masih mendekap piring roti kembali mengangguk.
"Pernahkah kau berpikir badainya akan berhenti ketika pagi datang? Aku mengharapkannya setiap akan tidur dan hingga kini harus selalu menelan kenyataan pahit tiap kali terbangun. Badainya masih ada. Kadang cuaca terlihat akan membaik, kasang malah makin mengerikan dari hari sebelumnya."
"Kau banyak pikiran akhir-akhir ini." Kalimatku barusan bukan pertanyaan, tapi pernyataan.
Meello melirikku dengan sudut matanya. "Ketidakpastian ini membuatku gila. Sudah berapa lama kita ada di kapal ini? Dua bulan lebih? Hampir tiga bulan?"
"Banyak yang tetap tenang menghadapi badainya. Yah... Sebenarnya aku juga selalu khawatir. Insomniaku juga karena kekhawatiran yang berkepanjangan ini. Kekhawatiran yang tidak tahu kapan selesainya. Meski aku tahu satu masalah selesai akan selalu muncul masalah lain. Tetap saja ...."
Aku tidak menyelesaikan ucapanku. Gelombang besar datang lagi. Sekarang rotiku melompat ke lautan. Hilang dalam sekejap.
"Well, memang mencari rezeki itu sulit, menghilangkannya lebih mudah," gumam Meello menatap tangannya yang sudah tidak lagi memiliki piring berisi roti. Ia meletakannya di atas dek dengan muram, jelas perutnya masih belum kenyang.
"Kadang bisa mudah juga. Jika sedang beruntung. Berada di tempat dan waktu yang tepat," timpalku.
"Semua ini membuatku hampir sinting!" erangnya, frustasi.
"Kau memang sudah sinting," kataku dengan nada datar.
Meello memicingkan mata. "Perjelas ucapanmu." Aku berusaha tenang, padahal sudah jengkel setengah mati dari tadi.
"Kenapa kau ingin meracuniku?" tuntutku. Meello diam.
"Kopinya," geramku.
Aku melihatnya. Tadi aku sempat mau masuk ke dalam kapal untuk menawari Meello roti yang kubuat. Namun aku malah memergokinya berniat dan berbuat jahat.
Meello berdiri. Wajahnya merah padam. "Kau sadar? Oh! Tentu saja kau sadar. Maka dari itu kau membiarkannya tumpah dengan mudah."
Aku memicingkan mata. "Salahkan badainya. Kau juga membiarkan rotiku terbuang."
"Aku sudah memakan rotimu, tapi kau hanya berpura-pura menyesap minumanku!" serunya, ngamuk. Napasnya kembang kempis.
Meello kemudian melanjutkan. "Tapi bagus kalau kau curiga. Benar! Aku ingin kau mati, dengan demikian persediaan makanan dan minuman akan lebih banyak buatku karena lebih sedikit perut yang perlu diberi makan! Bisa kau lompat ke laut saja? Aku tidak ingin berbagi kapalku denganmu!"
"Kau saja yang lompat. Kapal ini untukku," tolakku sambil melipat tangan di depan dada. Ombak besar datang lagi. Menghilangkan keseimbangan Meello.
Membuangnya dari kapal int, air menyeretnya masuk ke dalam lautan.
Samar-samar karena kondisi lautan yang gelap, aku melihat tangan Meello bergerak-gerak panik berusaha tetap berada di permukaan sebelum kemudian ia dilahap air laut hitam.
Ia bisa berenang, di kolam atau rawa yang tenang, bukan di lautan dengan badai dan ombak ganas.
Kami pernah bersama. Berada di lautan dan perahu yang sama. Bersama menghadapi badai, saling menguatkan. Namun kami ternyata berusaha menyakiti satu sama lain.
Hari ini Meello yang berusaha membunuhku. Mungkin jika dia tidak mati malam ini, akulah yang akan membunuhnya di lain hari.
Kami bersama, tapi saling menyakiti. Kurasa ini memang jalan keluar terbaik. Meello mati tanpa aku harus membunuhnya.
Aku juga mendapatkan kapalnya. Sesuai perkataannya, konsumsi makanan jadi lebih irit karena berkurangnya perut yang harus diisi. Ya, kurasa ending kisah antara aku dan Meello tidak begitu mengecewakan.
"Selamat tinggal sobat."
cerita mini ini terpublikasi di An1magine Volume 5 Nomor 6 Juni 2020
An1magine Volume 5 Nomor 6 Juni 2020
Jurnal majalah bulanan populer seni, desain, animasi, komik, novel, cerita mini, dan sains ringan yang dikemas dalam format education dan entertainment (edutainment). An1magine mewadahi karya cerita mini, cerita bersambung dalam ragam genre, tutorial, dan komik dalam ragam gaya gambar apa pun. Jurnal majalah An1magine ini dapat diakses secara gratis (open access system). Silakan klik link di atas untuk mengunduhnya.
An1magine edisi ini dapat diunduh juga di An1mage Journal, Play Store, dan Google Book. Silakan klik link aktif yang ada untuk mengunduhnya. Gak mau ketinggalan berita saat An1magine terbit? Gabung yok di An1mareaders WA Group, Facebook, Instagram, Twitter
inovel
Gabung di An1mage WA Grup untuk workshop, tutorial, pelatihan, dan membahas puisi, cerita mini, cerita pendek, novel, dan scenario untuk diterbitkan dan atau difilmkan, jangan ngabisin waktu nungguin chat, mari berkarya nyata, terlibat dalam produksi secara langsung, gabung dengan mengirimkan pesan WA ke Aditya PIC: 0818966667 dapat mengirimkan email ke: inovel.group@gmail.com subject: gabung inovel dengan isi: nomor kontak WA kamu atau dapat juga gabung di inovel facebook group.
ikomik
iluckis
icosplayer
Comments
Post a Comment