Roro Jonggrang di An1magine Volume 1 Nomor 1 Maret 2016
Buruk Rupa
M.S. Gumelar
Nusantara di masa lalu pada tahun 19 Februari 856 Masehi. Tanah subur gemah ripah loh jinawi, di area Jawa Dwipa bagian tengah, di suatu area pedesaan tersebutlah seorang pemuda bernama Bondowoso, tinggal di Kawasan Kerajaan Pengging.
Desa ini bernama Medang dan merupakan area utama perjalanan ke arah pusat kota Kerajaan Pengging.
Bondowoso adalah seorang pemuda yang tidak diketahui asal muasalnya bahkan oleh orang-orang di desa tersebut, beberapa orang bahkan menyebut Bondowoso sebagai orang dari sebrang yang artinya orang yang berasal dari pulau lain.
Dari tampak belakang Bondowoso sedang berjalan menyusuri jalanan utama Desa Medang.
Bondowoso berpapasan dengan beberapa orang, ada yang tidak memerhatikannya ada yang memerhatikannya, bagi yang tidak memerhatikan Bondowoso merupakan berkah tersendiri.
“Hueeekh hueeeeeekh,” seorang pria mendadak muntah setelah melihat Bondowoso lewat.
“Aduuuh,” seorang wanita mendadak pusing memegang kepalanya setelah mengikuti penyebab orang tadi kenapa muntah dan juga akhirnya melihat Bondowoso, kini dia tahu penyebabnya.
“Bau ikan busuk!” teriak pria tua sembari hidungnya ditutup dengan rapat oleh tangannya tanpa melihat bahwa Bondowoso lewat di dekatnya. Ternyata tidak melihat pun belum tentu berkah.
“Akh,” seorang gadis remaja mendadak pingsan setelah melihat Bondowoso, orang-orang lainnya yang belum sempat melihat Bondowoso segera bergegas menolong orang-orang yang mendadak sakit tanpa sebab tersebut.
Dari tampak depan Bondowoso berbadan tegap, tetapi di beberapa bagian kulitnya tampak seperti sisik ikan, berwajah mirip ikan walaupun masih berbentuk manusia ah bukan manusia, tepatnya mirip ikan sangat terlihat jelas. Tingginya rata-rata seperti pemuda di area tersebut yaitu sekitar 165-an cm.
Bondowoso berhenti lalu menepi dan mendadak berbicara seolah-olah ada orang di depannya.
“Ya… ya baiklah, aku masih menunggu di sini bila belum selesai tidak masalah, aku masih punya banyak waktu, tetapi kalau dapat lebih cepat lagi akan sangat baik sekali, makasih ya,” begitu kata-kata yang sering diucapkannya.
“Ih suka suka bicara sendiri, seperti berbicara pada orang yang tidak tampak ataukah gila, hiiii?” kata seorang wanita yang melihat Bondowoso sedang berbicara sendiri tanpa sebab.
“Eh ketawa terpingkal-pingkal lagi, gila beneeer!” seru seorang kakek saat melihat Bondowoso tertawa setelah seolah mendengar kawan yang tidak terlihat tadi membuat candaan.
“Bondowoso apa kabar?” sapa orang yang mencoba ramah padanya, sambil yang menyapa menutup hidungnya.
“Baik,” jawab Bondowoso dengan sopan dan ramah sembari memberi hormat Om Swastiastu dengan melekatkan telapak tangannya sendiri satu sama lainnya menghadap ke atas tepat di area depan dadanya sembari badannya agak membungkuk sebagai tanda menghargai orang tersebut.
Di kejauhan ada seorang ibu petani yang sepertinya kerepotan dan membawa beban berat, Bondowoso berlari mendekati ibu tersebut.
“Eh ibu, bawaannya berat, mari saya bantu,” saat Bondowoso melihat seorang ibu yang terlihat mempunyai beban berat membawa barang.
“Oh Bondowoso, makasih ya,” ucap si ibu dengan segera menutup hidungnya karena tidak tahan Bau Tubuh Bondowoso dan melengoskan wajahnya setelah melihat Wajah Bondowoso.
Bondowoso pun tersenyum kecut melihat reaksi ibu tersebut, tetapi dia tetap segera mengangkat dan membawa barang tersebut dengan mudahnya.
Seperti membawa kapas yang ringan padahal sangat berat dan dilakukan dengan tulus diiringi siulan riangnya Bondowoso berjalan gembira sampai ke tempat tujuan yang tidak begitu jauh dari tempat semula.
“Terima kasih ya….. eh ke mana ni anak?” si ibu petani mencari Bondowoso yang telah pergi dari tempat tersebut setelah meletakkan barang bawaannya.
Bondowoso ternyata sudah mulai mengarah balik lagi ke jalanan utama desa saat seseorang menyebut namanya.
“Bondowoso bantu mengangkat barang-barang saya ya,” kata seorang juragan berbadan kekar, sembari menutup hidung, dan tidak melihat Wajah Bondowoso secara langsung.
“Siap Juragaaaaan!” jawab Bondowoso dengan ceria.
“Kok ….WUOOOOH?” si juragan kekar bengong dengan ulah Bondowoso yang mengangkat pedati dan kuda-kudanya sekalian.
“Ha… hanya barang-barangnya saja Bondowoso…ti… tidak perlu lainnya” jelas juragan kekar terkesima.
“Siap Juragan” Bondowoso meletakkan kuda-kuda dan pedatinya lagi.
Setelah membantu mengangkat selesai “Makasih ya Bondowoso,” ucap juragan kekar sembari memberikan upah kepada Bondowoso.
“Yeaaaaa buat membeli nasi buduk, eh uduk!” teriak Bondowoso dengan gembira.
“Bondowosooo bantu mengangkat barang bawaan saya yaaa,” juragan lain yang bertubuh kurus meminta bantuan Bondowoso sembari menutup hidung dan tidak melihat wajah Bondowoso secara langsung.
“Siaaaaap juragaaaaaan,” sambut Bondowoso dengan gembira.
Setelah selesai membantu “Makasih ya Bondowoso,” ucap juragan bertubuh kurus tersebut tanpa memberikan uang upah.
Tangan Bondowoso yang sudah siap menerima uang upah menjadi lunglai dan wajahnya mendadak murung, tetapi segera Bondowoso ceria lagi setelah ada yang memanggil meminta bantuannya.
“Bondowoso bantu doooong,” teriak seorang juragan wanita berbadan gemuk yang sudah menutup hidung dan tidak mau melihat wajahnya.
“Siaaaaaaaap!” jawab Bondowoso dengan gembira.
“Hai Bondowoso,” sapa temannya yang berbadan lebih tinggi darinya, dia menggunakan ikat kepala untuk mengendalikan rambutnya yang panjang sebahu dan berwarna hitam.
Teman ini bila mendekati Bondowoso selalu membalutkan sarung bermotif catur ke area hidung agar Bau Badan Bondowoso minimal dapat diredam.
Temannya masih mau melihat wajah buruk Bondowoso, walaupun cuma beberapa menit saja, setelah itu dia harus melihat ke area lainnya agar tidak merasa jijik dan menjadi mual.
“Hai Pikatan,” balas Bondowoso dengan riang.
“Bondowoso kau punya tenaga yang luar biasa, kenapa tidak menjadi prajurit saja dan mengabdi pada Raja Pengging?” saran Pikatan.
“Oh ya?” Bondowoso menimpali tetapi tidak begitu antusias.
“Aaaah kau akan hidup mewah, sehingga tidak perlu mengangkat barang-barang para juragan dan menunggu belas kasihan mereka, apakah mau memberimu tahil atau tidak?” jelas Pikatan sembari menunjukkan uang koin tahilnya yang lebih banyak kepada Bondowoso.
“Kau sudah menjadi prajurit?” tanya Bondowoso.
“Belum, aku sudah mendapatkan tahil ini karena aku mencari orang-orang yang mau bergabung, lalu aku diberi tahil oleh mereka sebagai tanda terima kasih,” jelas Pikatan.
“Ha, ha, ha… berarti tidak jauh beda dengan aku membantu para juragan-juragan itu mengangkat barang-barang mereka dan mendapatkan tahil,” Bondowoso menunjukkan
ketidaktertarikannya menjadi prajurit.
“Coba ayo pikirkan,” Pikatan berhenti sejenak lalu duduk di batu besar tepi danau.
Pikatan mencemplungkan kakinya sebagian ke dalam danau dengan tujuan menjauhi area jalan utama desa lalu Pikatan memetik satu batang rumput ilalang dan memainkannya.
Bondowoso mengikuti dan duduk bersandar di pohon besar di dekat Pikatan.
“Jika aku punya kekuatan besar sepertimu, aku tidak akan membuang waktu, aku akan menjadi prajurit yang hebat, disukai banyak gadis-gadis, dan banyak uang, hidupku menjadi sangat indah, masa depan menjadi sangat ceraaaaaaah,” Pikatan mengumpamakan dirinya menjadi Bondowoso.
“Ha ternyata ada yang salah para gadis pasti tidak akan melirikku karena aku jelek ha ha ha,” lanjut Pikatan sengaja bercanda.
“Ha ha ha,” timpal Bondowoso tertawa terpaksa, karena tahu guyonan itu benar adanya.
“Tapi paling tidak kau hidup mewah, dihormati dan banyak harta, iya kan?” bela Pikatan sembari mengambil batu kerikil yang ada di dekatnya, lalu dia berdiri dan melemparkannya ke danau.
Batu kerikil ceper tadi mengenai permukaan air danau “Ah….lihaaaaat sembilan kali ha ha ha sepertinya suatu keberuntungan!” teriak Pikatan setelah melihat hasilnya batu ceper yang dilemparkan tersebut sembilan kali terhempas mental di permukaan air danau dan akhirnya masuk ke dalam air.
“Bukankah ini pertanda baik?” jelasnya lagi sembari melihat ke Bondowoso dengan wajah riang sehingga membuat balutan kain yang ada di mukanya terlepas, “Ueeeeekh hueeeekh!” lalu Pikatan mendadak mual dan muntah di tepi danau.
“Ha ha ha ha ha,” Bondowoso tertawa.
Mereka pun tertawa bersama-sama, sembari sesekali Pikatan masih muntah di sela-sela tawanya.
Saat mereka tertawa, ada rombongan lebih besar dari biasanya menuju ke Arah Pusat Kerajaan Pengging. Banyak orang-orang berkerumun di tepi jalan besar ingin mengetahui rombongan apakah itu?
Bondowoso pun segera ikut pula melihat dari jarak jauh dan tahu diri agar orang-orang tidak terkena bau tubuhnya yang busuk, dia naik pohon, namun tetap jelas melihat rombongan tersebut.
Sementara Pikatan tetap di bawah dan berdiri di atas batu besar yang didudukinya tadi karena sudah merasa cukup jelas melihat rombongan yang lewat.
Seorang punggawa berkuda sedang bergerak mendahului berada di depan untuk memberi jalan pada pedati mewah dan megah yang ditarik oleh sapi-sapi yang sehat dan kuat, lalu beberapa punggawa-punggawa mengiringi di belakangnya pedati.
Rombongan melintas dengan perlahan, diiringi oleh beberapa punggawa yang berjalan tegap dan awas menjaga keselamatan yang ada di dalam pedati tersebut.
Di dalam pedati seorang gadis muda cantik berkulit cokelat muda eksotis, bertubuh tinggi dan langsing berusia sekitar tujuh belasan tahun mencoba melihat keluar pedati.
Dengan perlahan dia membuka tirai pedati dan melihat sekerumunan orang-orang yang melihat rombongannya melintasi jalanan utama desa tersebut.
“Roro,” seorang wanita yang di belakangnya memanggilnya.
“Ya Ibu,” jawab Roro dengan perlahan.
“Jangan melakukan hal itu, bila ada orang yang usil mereka akan dapat mengganggumu,” jawab Ibu Roro.
“Baik bu,” jawab Roro tanpa menurunkan tirainya, dan dia terpana melihat
Bondowoso yang dikiranya monyet besar yang didandani seperti manusia berada di atas pohon, Roro tersenyum melihat monyet tersebut.
“Haaa?...” Bondowoso keheranan dengan sikap gadis cantik dalam pedati yang melihatnya tetapi tidak takut ataupun jijik melihat tampangnya.
“Roro tutup tirainya!” seru ibunya dengan perlahan tapi bernada tegas.
“Baik bu,” kali ini Roro melakukannya.
Pedati mewah dan megah yang ditarik oleh sapi-sapi yang sehat dan kuat dan beberapa punggawa itu pun semakin menjauh.
Orang-orang mulai membubarkan diri dari kerumunan tersebut. Sedangkan Bondowoso masih di atas pohon bengong dan tetap melihat rombongan pedati mewah tadi yang semakin jauh dari pandangannya.
“Bondowoso ayo cepat turuuuuuuun!” teriak Pikatan.
“Wooohoooooooooooo!” teriak Bondowoso sembari melompat turun dan berjungkir balik salto di udara dan menjejakkan kakinya tepat di samping Pikatan di atas batu dia berdiri.
“Wuah hebat sekali,” puji Pikatan setelah melihat aksi tersebut, segera dia melampirkan kain ke area hidung dan mulutnya dan melompat ke arah tepi jalan menjauhi Bondowoso agar bau tubuh Bondowoso tidak begitu menyengat baginya.
“Siapa ya gadis tadi?” tanya Bondowoso.
“Siapa? Oh gadis dalam pedati tadi?” tanya Pikatan meyakinkan kalimat tanya yang didengarnya dari Bondowoso.
“Iya gadis dalam pedati tadi, yang menyingkap tirai dan melihatku,” jelas Bondowoso.
“Ha ha ha melihatmu? Mimpiiiiiiii!” ejek Pikatan.
“Ha ha ha!” Bondowoso menimpalinya dengan tertawa kecut.
“Ini serius, baru gadis tadi yang melihatku dan tidak merasa jijik dengan wajahku, siapa dia yaaa?” Bondowoso lebih menekankan lagi ucapannya.
“Oh yaaaaaaaaa?” Pikatan sengaja dengan wajah menggoda.
“Aku tidak tahu. Tapi kita dapat mencari tahu, arahnya ke Pusat Kerajaan Pengging,” jawab Pikatan sembari juga memberi petunjuk apa yang seharusnya dilakukan selanjutnya.
“Ayo kita ke sana,” lebih jelas lagi Pikatan mengajak Bondowoso.
“Hmmmm aku belum pernah menjadi prajurit, sepertinya menarik,” cetus Bondowoso.
“Suungguuuuuuuuuuh?” tanya Pikatan menggoda.
“Sungguuuuuuuuuuuh,” jawab Bondowoso dengan muka lucu.
“Wuah mulutmu bauuuuuuu!” goda Pikatan.
“Bagaimana gadis tadi mau menyukaimu?” Pikatan menambahkan candaannya.
“Biariiiiiiiin,” jawab Bondowoso dengan tetap bermuka lucu.
“Ha ha ha itu yang aku suka darimu, kau tetap tidak marah walaupun diperlakukan buruk oleh orang lain, semangaaaaat!” puji Pikatan.
“Yeeaaaaaaaaaa semangaaaaaaat!” timpal Bondowoso.
“Ayo kita jadi prajuriiiiiiiiit!” keduanya berteriak bersamaaan dengan gembira.
“Siapa cepat dia mendapatkan gadis cantik tadi” teriak Pikatan.
“Aku doooong!” jawab Bondowoso dengan segera berlari ke arah jalan utama.
“Akuuuuu!” timpal Pikatan tidak mau kalah, segera berlari menyusul Bondowoso.
Dan segera keduanya berlarian saling susul dengan gembira ke arah pedati tadi menuju. (MSG).
(bersambung)
Roro Jonggrang, si buruk rupa edisi ini ada di An1magine majalah eMagazine Remaja Volume 1 Nomor 1 Maret 2016 yang dapat di-download gratis di Play Store, share yaa
Desa ini bernama Medang dan merupakan area utama perjalanan ke arah pusat kota Kerajaan Pengging.
Bondowoso adalah seorang pemuda yang tidak diketahui asal muasalnya bahkan oleh orang-orang di desa tersebut, beberapa orang bahkan menyebut Bondowoso sebagai orang dari sebrang yang artinya orang yang berasal dari pulau lain.
Dari tampak belakang Bondowoso sedang berjalan menyusuri jalanan utama Desa Medang.
Bondowoso berpapasan dengan beberapa orang, ada yang tidak memerhatikannya ada yang memerhatikannya, bagi yang tidak memerhatikan Bondowoso merupakan berkah tersendiri.
“Hueeekh hueeeeeekh,” seorang pria mendadak muntah setelah melihat Bondowoso lewat.
“Aduuuh,” seorang wanita mendadak pusing memegang kepalanya setelah mengikuti penyebab orang tadi kenapa muntah dan juga akhirnya melihat Bondowoso, kini dia tahu penyebabnya.
“Bau ikan busuk!” teriak pria tua sembari hidungnya ditutup dengan rapat oleh tangannya tanpa melihat bahwa Bondowoso lewat di dekatnya. Ternyata tidak melihat pun belum tentu berkah.
“Akh,” seorang gadis remaja mendadak pingsan setelah melihat Bondowoso, orang-orang lainnya yang belum sempat melihat Bondowoso segera bergegas menolong orang-orang yang mendadak sakit tanpa sebab tersebut.
Dari tampak depan Bondowoso berbadan tegap, tetapi di beberapa bagian kulitnya tampak seperti sisik ikan, berwajah mirip ikan walaupun masih berbentuk manusia ah bukan manusia, tepatnya mirip ikan sangat terlihat jelas. Tingginya rata-rata seperti pemuda di area tersebut yaitu sekitar 165-an cm.
Bondowoso berhenti lalu menepi dan mendadak berbicara seolah-olah ada orang di depannya.
“Ya… ya baiklah, aku masih menunggu di sini bila belum selesai tidak masalah, aku masih punya banyak waktu, tetapi kalau dapat lebih cepat lagi akan sangat baik sekali, makasih ya,” begitu kata-kata yang sering diucapkannya.
“Ih suka suka bicara sendiri, seperti berbicara pada orang yang tidak tampak ataukah gila, hiiii?” kata seorang wanita yang melihat Bondowoso sedang berbicara sendiri tanpa sebab.
“Eh ketawa terpingkal-pingkal lagi, gila beneeer!” seru seorang kakek saat melihat Bondowoso tertawa setelah seolah mendengar kawan yang tidak terlihat tadi membuat candaan.
“Bondowoso apa kabar?” sapa orang yang mencoba ramah padanya, sambil yang menyapa menutup hidungnya.
“Baik,” jawab Bondowoso dengan sopan dan ramah sembari memberi hormat Om Swastiastu dengan melekatkan telapak tangannya sendiri satu sama lainnya menghadap ke atas tepat di area depan dadanya sembari badannya agak membungkuk sebagai tanda menghargai orang tersebut.
Di kejauhan ada seorang ibu petani yang sepertinya kerepotan dan membawa beban berat, Bondowoso berlari mendekati ibu tersebut.
“Eh ibu, bawaannya berat, mari saya bantu,” saat Bondowoso melihat seorang ibu yang terlihat mempunyai beban berat membawa barang.
“Oh Bondowoso, makasih ya,” ucap si ibu dengan segera menutup hidungnya karena tidak tahan Bau Tubuh Bondowoso dan melengoskan wajahnya setelah melihat Wajah Bondowoso.
Bondowoso pun tersenyum kecut melihat reaksi ibu tersebut, tetapi dia tetap segera mengangkat dan membawa barang tersebut dengan mudahnya.
Seperti membawa kapas yang ringan padahal sangat berat dan dilakukan dengan tulus diiringi siulan riangnya Bondowoso berjalan gembira sampai ke tempat tujuan yang tidak begitu jauh dari tempat semula.
“Terima kasih ya….. eh ke mana ni anak?” si ibu petani mencari Bondowoso yang telah pergi dari tempat tersebut setelah meletakkan barang bawaannya.
Bondowoso ternyata sudah mulai mengarah balik lagi ke jalanan utama desa saat seseorang menyebut namanya.
“Bondowoso bantu mengangkat barang-barang saya ya,” kata seorang juragan berbadan kekar, sembari menutup hidung, dan tidak melihat Wajah Bondowoso secara langsung.
“Siap Juragaaaaan!” jawab Bondowoso dengan ceria.
“Kok ….WUOOOOH?” si juragan kekar bengong dengan ulah Bondowoso yang mengangkat pedati dan kuda-kudanya sekalian.
“Ha… hanya barang-barangnya saja Bondowoso…ti… tidak perlu lainnya” jelas juragan kekar terkesima.
“Siap Juragan” Bondowoso meletakkan kuda-kuda dan pedatinya lagi.
Setelah membantu mengangkat selesai “Makasih ya Bondowoso,” ucap juragan kekar sembari memberikan upah kepada Bondowoso.
“Yeaaaaa buat membeli nasi buduk, eh uduk!” teriak Bondowoso dengan gembira.
“Bondowosooo bantu mengangkat barang bawaan saya yaaa,” juragan lain yang bertubuh kurus meminta bantuan Bondowoso sembari menutup hidung dan tidak melihat wajah Bondowoso secara langsung.
“Siaaaaap juragaaaaaan,” sambut Bondowoso dengan gembira.
Setelah selesai membantu “Makasih ya Bondowoso,” ucap juragan bertubuh kurus tersebut tanpa memberikan uang upah.
Tangan Bondowoso yang sudah siap menerima uang upah menjadi lunglai dan wajahnya mendadak murung, tetapi segera Bondowoso ceria lagi setelah ada yang memanggil meminta bantuannya.
“Bondowoso bantu doooong,” teriak seorang juragan wanita berbadan gemuk yang sudah menutup hidung dan tidak mau melihat wajahnya.
“Siaaaaaaaap!” jawab Bondowoso dengan gembira.
“Hai Bondowoso,” sapa temannya yang berbadan lebih tinggi darinya, dia menggunakan ikat kepala untuk mengendalikan rambutnya yang panjang sebahu dan berwarna hitam.
Teman ini bila mendekati Bondowoso selalu membalutkan sarung bermotif catur ke area hidung agar Bau Badan Bondowoso minimal dapat diredam.
Temannya masih mau melihat wajah buruk Bondowoso, walaupun cuma beberapa menit saja, setelah itu dia harus melihat ke area lainnya agar tidak merasa jijik dan menjadi mual.
“Hai Pikatan,” balas Bondowoso dengan riang.
“Bondowoso kau punya tenaga yang luar biasa, kenapa tidak menjadi prajurit saja dan mengabdi pada Raja Pengging?” saran Pikatan.
“Oh ya?” Bondowoso menimpali tetapi tidak begitu antusias.
“Aaaah kau akan hidup mewah, sehingga tidak perlu mengangkat barang-barang para juragan dan menunggu belas kasihan mereka, apakah mau memberimu tahil atau tidak?” jelas Pikatan sembari menunjukkan uang koin tahilnya yang lebih banyak kepada Bondowoso.
“Kau sudah menjadi prajurit?” tanya Bondowoso.
“Belum, aku sudah mendapatkan tahil ini karena aku mencari orang-orang yang mau bergabung, lalu aku diberi tahil oleh mereka sebagai tanda terima kasih,” jelas Pikatan.
“Ha, ha, ha… berarti tidak jauh beda dengan aku membantu para juragan-juragan itu mengangkat barang-barang mereka dan mendapatkan tahil,” Bondowoso menunjukkan
ketidaktertarikannya menjadi prajurit.
“Coba ayo pikirkan,” Pikatan berhenti sejenak lalu duduk di batu besar tepi danau.
Pikatan mencemplungkan kakinya sebagian ke dalam danau dengan tujuan menjauhi area jalan utama desa lalu Pikatan memetik satu batang rumput ilalang dan memainkannya.
Bondowoso mengikuti dan duduk bersandar di pohon besar di dekat Pikatan.
“Jika aku punya kekuatan besar sepertimu, aku tidak akan membuang waktu, aku akan menjadi prajurit yang hebat, disukai banyak gadis-gadis, dan banyak uang, hidupku menjadi sangat indah, masa depan menjadi sangat ceraaaaaaah,” Pikatan mengumpamakan dirinya menjadi Bondowoso.
“Ha ternyata ada yang salah para gadis pasti tidak akan melirikku karena aku jelek ha ha ha,” lanjut Pikatan sengaja bercanda.
“Ha ha ha,” timpal Bondowoso tertawa terpaksa, karena tahu guyonan itu benar adanya.
“Tapi paling tidak kau hidup mewah, dihormati dan banyak harta, iya kan?” bela Pikatan sembari mengambil batu kerikil yang ada di dekatnya, lalu dia berdiri dan melemparkannya ke danau.
Batu kerikil ceper tadi mengenai permukaan air danau “Ah….lihaaaaat sembilan kali ha ha ha sepertinya suatu keberuntungan!” teriak Pikatan setelah melihat hasilnya batu ceper yang dilemparkan tersebut sembilan kali terhempas mental di permukaan air danau dan akhirnya masuk ke dalam air.
“Bukankah ini pertanda baik?” jelasnya lagi sembari melihat ke Bondowoso dengan wajah riang sehingga membuat balutan kain yang ada di mukanya terlepas, “Ueeeeekh hueeeekh!” lalu Pikatan mendadak mual dan muntah di tepi danau.
“Ha ha ha ha ha,” Bondowoso tertawa.
Mereka pun tertawa bersama-sama, sembari sesekali Pikatan masih muntah di sela-sela tawanya.
Saat mereka tertawa, ada rombongan lebih besar dari biasanya menuju ke Arah Pusat Kerajaan Pengging. Banyak orang-orang berkerumun di tepi jalan besar ingin mengetahui rombongan apakah itu?
Bondowoso pun segera ikut pula melihat dari jarak jauh dan tahu diri agar orang-orang tidak terkena bau tubuhnya yang busuk, dia naik pohon, namun tetap jelas melihat rombongan tersebut.
Sementara Pikatan tetap di bawah dan berdiri di atas batu besar yang didudukinya tadi karena sudah merasa cukup jelas melihat rombongan yang lewat.
Seorang punggawa berkuda sedang bergerak mendahului berada di depan untuk memberi jalan pada pedati mewah dan megah yang ditarik oleh sapi-sapi yang sehat dan kuat, lalu beberapa punggawa-punggawa mengiringi di belakangnya pedati.
Rombongan melintas dengan perlahan, diiringi oleh beberapa punggawa yang berjalan tegap dan awas menjaga keselamatan yang ada di dalam pedati tersebut.
Di dalam pedati seorang gadis muda cantik berkulit cokelat muda eksotis, bertubuh tinggi dan langsing berusia sekitar tujuh belasan tahun mencoba melihat keluar pedati.
Dengan perlahan dia membuka tirai pedati dan melihat sekerumunan orang-orang yang melihat rombongannya melintasi jalanan utama desa tersebut.
“Roro,” seorang wanita yang di belakangnya memanggilnya.
“Ya Ibu,” jawab Roro dengan perlahan.
“Jangan melakukan hal itu, bila ada orang yang usil mereka akan dapat mengganggumu,” jawab Ibu Roro.
“Baik bu,” jawab Roro tanpa menurunkan tirainya, dan dia terpana melihat
Bondowoso yang dikiranya monyet besar yang didandani seperti manusia berada di atas pohon, Roro tersenyum melihat monyet tersebut.
“Haaa?...” Bondowoso keheranan dengan sikap gadis cantik dalam pedati yang melihatnya tetapi tidak takut ataupun jijik melihat tampangnya.
“Roro tutup tirainya!” seru ibunya dengan perlahan tapi bernada tegas.
“Baik bu,” kali ini Roro melakukannya.
Pedati mewah dan megah yang ditarik oleh sapi-sapi yang sehat dan kuat dan beberapa punggawa itu pun semakin menjauh.
Orang-orang mulai membubarkan diri dari kerumunan tersebut. Sedangkan Bondowoso masih di atas pohon bengong dan tetap melihat rombongan pedati mewah tadi yang semakin jauh dari pandangannya.
“Bondowoso ayo cepat turuuuuuuun!” teriak Pikatan.
“Wooohoooooooooooo!” teriak Bondowoso sembari melompat turun dan berjungkir balik salto di udara dan menjejakkan kakinya tepat di samping Pikatan di atas batu dia berdiri.
“Wuah hebat sekali,” puji Pikatan setelah melihat aksi tersebut, segera dia melampirkan kain ke area hidung dan mulutnya dan melompat ke arah tepi jalan menjauhi Bondowoso agar bau tubuh Bondowoso tidak begitu menyengat baginya.
“Siapa ya gadis tadi?” tanya Bondowoso.
“Siapa? Oh gadis dalam pedati tadi?” tanya Pikatan meyakinkan kalimat tanya yang didengarnya dari Bondowoso.
“Iya gadis dalam pedati tadi, yang menyingkap tirai dan melihatku,” jelas Bondowoso.
“Ha ha ha melihatmu? Mimpiiiiiiii!” ejek Pikatan.
“Ha ha ha!” Bondowoso menimpalinya dengan tertawa kecut.
“Ini serius, baru gadis tadi yang melihatku dan tidak merasa jijik dengan wajahku, siapa dia yaaa?” Bondowoso lebih menekankan lagi ucapannya.
“Oh yaaaaaaaaa?” Pikatan sengaja dengan wajah menggoda.
“Aku tidak tahu. Tapi kita dapat mencari tahu, arahnya ke Pusat Kerajaan Pengging,” jawab Pikatan sembari juga memberi petunjuk apa yang seharusnya dilakukan selanjutnya.
“Ayo kita ke sana,” lebih jelas lagi Pikatan mengajak Bondowoso.
“Hmmmm aku belum pernah menjadi prajurit, sepertinya menarik,” cetus Bondowoso.
“Suungguuuuuuuuuuh?” tanya Pikatan menggoda.
“Sungguuuuuuuuuuuh,” jawab Bondowoso dengan muka lucu.
“Wuah mulutmu bauuuuuuu!” goda Pikatan.
“Bagaimana gadis tadi mau menyukaimu?” Pikatan menambahkan candaannya.
“Biariiiiiiiin,” jawab Bondowoso dengan tetap bermuka lucu.
“Ha ha ha itu yang aku suka darimu, kau tetap tidak marah walaupun diperlakukan buruk oleh orang lain, semangaaaaat!” puji Pikatan.
“Yeeaaaaaaaaaa semangaaaaaaat!” timpal Bondowoso.
“Ayo kita jadi prajuriiiiiiiiit!” keduanya berteriak bersamaaan dengan gembira.
“Siapa cepat dia mendapatkan gadis cantik tadi” teriak Pikatan.
“Aku doooong!” jawab Bondowoso dengan segera berlari ke arah jalan utama.
“Akuuuuu!” timpal Pikatan tidak mau kalah, segera berlari menyusul Bondowoso.
Dan segera keduanya berlarian saling susul dengan gembira ke arah pedati tadi menuju. (MSG).
(bersambung)
Roro Jonggrang, si buruk rupa edisi ini ada di An1magine majalah eMagazine Remaja Volume 1 Nomor 1 Maret 2016 yang dapat di-download gratis di Play Store, share yaa
Comments
Post a Comment