http://yikookt.nl/wp-content/uploads/2013/06/Zoete-aardappel-klein-5.jpg
Dari mana datangnya kekuatan super? Baju besi super canggih? Manusia rekayasa genetik? Alien yang menyamar jadi manusia? Digigit laba-laba hasil percobaan? Kena radiasi radioaktif?
OK. Ini pasti aneh. Kalian boleh enggak percaya karena aku sendiri juga gak bakal percaya kalau gak mengalaminya sendiri. Bahwa dari sekian banyak cara memiliki kekuatan super, ternyata salah satunya adalah dengan makan puding!
"Dex, belikan nenek sabun colek buat cuci piring." Kepala nenek muncul dari balik pintu sementara tubuhnya tetap tersembunyi.
Aku melirik sekilat mungkin. Tidak mau lama-lama terdistraksi dari game yang sedang kumainkan.
"Lagi main game," tolakku dengan nada mengeluh.
"Sebentar saja," pinta nenek.
Aku ingin membuka mulut, membantah kalau nenek bisa pergi sendiri ke warung sampai aku ingat kemarin nenek jatuh di kamar mandi sehingga kakinya sakit.
"Ada kelebihan uang, kau bisa menghabiskannya untuk jajan," tawarnya sebelum aku mengiyakan permintaannya.
"Tunggu sebentar sampai aku memenangkan pertarungan dan menyimpan data gameku," jawabku.
"Anak baik," balas nenek kemudian menutup pintu kamarku.
Selesai membereskan game konsolku, aku menemukan nenek yang sedang memotong pisang untuk membuat kolak.
"Memangnya nenek masih tetap bakal jualan?" tanyaku sambil mengulurkan tangan buat meminta uang.
"Kamu yang jualan," jawab nenek sembari memberikan uang selembar dua puluh ribuan. "Sabun colek dan gula pasir setengah kilo."
Aku mengerucutkan bibir kemudian bergegas ke warung untuk membeli pesanan nenek. Buru-buru aku membeli sabun colek dan gula pasir supaya bisa segera sampai rumah dan main game lagi. Aku bahkan tidak membeli apa pun untuk diriku sendiri.
Tapi manusia mudah berubah kan? Aku yang punya rencana main game lagi dan tidak menggunakan uang kembalian untuk jajan malah berhenti di sepetak meja dengan berbagai puding dengan warna menarik.
Seingatku saat berangkat tadi aku tidak melihat dagangan ini, padahal aku melalui rute yang sama.
"Berapa?" tanyaku sembari menunjuk puding berwarna merah-hijau-merah.
"Sepuluh ribu," jawab si penjual. Aku meremas sisa uang dalam saku. Tidak cukup.
"Ada yang lebih murah," ujarnya seolah dapat membaca pikiranku. Si penjual mengeluarkan puding berwarna ungu dan pink.
"Kuberi harga murah sebagai penglaris daganganku."
"Warnanya agak ... cewek," gumamku.
"Benar, warnanya memang cantik. Rasanya juga enak."
"Rasa apa...."
"Rasa apa yang kau inginkan?" potong si penjual.
"Rasa yang bisa membuatku menjadi kuat, tahan banting," kataku berkelakar.
"Kau pasti akan kuat setelah mengonsumsi pudding ini. Lima ribu saja sebagai penglaris."
Aku menebak-nebak. Ungu mungkin rasa anggur. Kalau begitu pink kira-kira rasa apa?
Entahlah. Meski warna atau rasanya kurang sesuai dengan seleraku, aku tetap membayar makanan tersebut karena menurutku penjualnya gigih.
Jadi aku makan puding sambil berjalan pulang. Rasanya tidak seburuk yang kubayangkan. Lebih ke arah rasa leci. Perbedaan warna sepertinya karena pewarna makanan saja. Baik yang ungu dan pink rasanya sama saja. Sekilas aku mengira pudingku berkilauan. Optical illusion? Mungkin karena terkena sinar matahari senja pada posisi yang pas. Entahlah hanya sekilas saja. Aku bahkan nyaris meragukan penglihatanku.
Baru beberapa langkah, seekor lebah menabrak jidatku. Bukannya membuat jidatku yang luas menjadi bengkak karena sengatannya. Si lebah hanya menabrak keningku begitu saja. Lalu jatuh ke tanah. Aku menginjaknya.
"Mati kau!" Kemudian kalimat lain menyambutku. Kali ini bukan aku yang bicara.
"Dex! Ketemu akhirnya kau!" Geraman yang sudah sangat kukenal.
Ya ampun baru saja kaget karena lebah, sekarang aku harus ketemu Junior si kekar yang suka minta uang bulanan seolah aku ini sugar daddy-nya.
Tidak tentu saja, aku pecundang, maka dari itu ia menggunakan otot-ototnya untuk merampas uangku.
"Aku hanya punya dua ribu!" jeritku, tanpa bermaksud menjerit.
"Hei! Kau sengaja ingin menarik perhatian orang-orang? Berharap ada yang membantumu?”
“Kurang ajar kau, Dex! Sini biar tubuhmu ingat sakitnya pukulanku!" raung Junior, marah. Aku memejamkan mata menanti pukulan itu datang.
Tapi kemudian yang terdengar hanya jeritan dan sumpah serapah. Aku membuka mata sedikit, Junior terkapar di tanah sembari memegangi tangan kanannya.
"Brengsek kau Dex!" raungnya.
"Aku tidak melakukan apa pun!" seruku sembari berlari terbirit-birit menjauhi Junior. Entah trik macam apa yang Junior ingin lakukan padaku. Aku tidak mau tahu, aku cuman ingin tidak berada di dekatnya.
"Sabun colek dan gula pasir setengah kilo." Aku menyerahkan belanjaan pada nenek. Aku juga memberikan dua ribuan yang tersisa.
"Terima kasih." Nenek menerimanya dengan riang. "Kolaknya sudah matang, kau mau?"
"Nanti saja. Aku tidak suka kolak panas. Aku juga baru makan ini." Kutunjukkan puding yang tadi kubeli pada nenek.
"Rasa apa?" tanyanya sembari mengerutkan kening, membuat keriput di wajahnya kian jelas.
"Leci," gumamku sembari mengangkat bahu. "Nenek mau?"
"Tidak. Aku banyak mencicipi kolaknya. Perutku gampang penuh, kau tahu," tolaknya.
"Aku tahu nenek jarang meminta cicip jajananku," tawaku sembari menepuk meja.
Detik selanjutnya tidak terduga. Meja makan kami langsung hancur berkeping-keping.
Mejanya memang sudah beberapa generasi. Hanya saja masih kuat, tidak lapuk karena terbuat dari kayu yang baik.
"Aku ... aku ...." Aku tidak menyelesaikan kalimatku. Aku bahkan tidak tahu apa yang sebenarnya ingin kuucapkan.
"Rasa apa?" desak nenek sembari menatapku tajam. Tatapan marah.
"Aku menghancurkan meja dan nenek marah menanyakan rasa puding yang kumakan? Leci, sudah kukatakan rasanya leci," jawabku.
"Nenek coba saja. Nenek tidak percaya padaku, coba saja pudingnya!" Nenek mengarahkan tangannya padaku. Aku memberikan pudingnya, tapi bukan itu yang ingin nenek raih. Nenek memegang erat tanganku. Memori beberapa saat lalu muncul kembali, saat aku berinteraksi dengan si penjual puding.
"Rasa apa...."
"Rasa apa yang kau inginkan?" potong si penjual.
"Rasa yang bisa membuatku menjadi kuat, tahan banting," kataku berkelakar.
"Kau pasti akan kuat setelah mengonsumsi pudding ini." Nenek melepas tanganku. "Aku tidak mengerti mengapa banyak orang di dunia ini yang begitu ceroboh. Memberikan kekuatan seenaknya tanpa peringatan, tanpa minta izin."
"Apa itu barusan?" gumamku, binggung. Nenek tidak menjawab pertanyaanku. Dia malah mencecarku.
"Untuk apa kau meminta menjadi kuat?" tanya nenek sambil menatapku lekat-lekat.
"Apa seseorang melakukan bullying kepadamu, Dex?"
"Nenek percaya hanya dengan makan puding, seseorang bisa berubah menjadi kuat?" protesku, tidak percaya.
"Aku percaya. Setelah menghancurkan meja menjadi serpihan, apa kau meragukan kekuatanmu?" jawabnya, kali ini menatap tumpukan kayu yang tadinya adalah meja.
"Wah... ini keren," gumamku sambil menatap kedua tangan yang kuangkat sejajar dengan mata.
"Kau belum siap memiliki kekuatan semacam itu!" bentak nenek. "Aku tidak mengerti mengapa ada orang-orang ceroboh yang membagikan kekuatan super secara serampangan. Membuat dunia ini cepat hancur saja."
"Santai saja nek, lagipula aku sudah mendapatkan kekuatan yang bagus, jadi aku harus menggunakannya dengan baik," kekehku.
"Memangnya apa yang akan kau lakukan? Jadi tukang pukul?" gerutu nenek, sangat kentara tidak setuju.
"Apa saja yang bisa menghasilkan banyak uang. Jadi nenek tidak perlu membuat kolak lagi, aku juga tidak perlu menjual kolak," ujarku.
Nenek memandangku lekat-lekat. "Kekuatan tanpa kebijaksanaan. Kau bisa menjadi orang jahat, Dex karena belum siap."
"Aku tahu nenek khawatir. Aku sendiri pun harus belajar mengontrol kekuatanku ini. Tapi percayalah aku akan menjadi pahlawan alih-alih penjahat," tawaku pecah.
"Aku senang sekali. Sekarang aku kuat! Banyak hal baru yang terbuka bagiku!" Nenek duduk di kursinya dan memijit pelipisnya. Tapi belum hitungan kesepuluh beliau bangkit lagi mendekati kompor kemudian memindahkan beberapa sendok kolak ke mangkok.
"Coba cicipi, apa manisnya sudah pas?" Nenek menyodorkan mangkok berisi kolak padaku. Aku menurut. Kuambil mangkok itu dari tangan nenek dengan kehati-hatian ekstra. Kuambil sesuap kolak dengan sendok, meniupnya supaya suhu makanan tersebut turun lalu memasukannya ke mulut.
"Enak, seperti biasanya," kataku. Nenek tersenyum. "Bagus," ucapnya singkat. Kemudian Nenek menunjuk pintu kamarku.
"Coba hancurkan itu," katanya, pelan.
"Hah?" Aku kaget. "Kenapa aku harus menghancurkan pintu kamarku?"
"Tidak. Tidak harus. Aku tahu kau tidak bisa." Nenek menghela napas panjang.
"Kuharap kau mau membersihkan puing-puing meja yang kau hancurkan."
"Akan kubereskan," sahutku. Nenek mengangguk kemudian menyelinap masuk ke kamarnya. Menghilang dari pandangan. Kubungkukkan badan, meraih salah satu potongan meja yang agak besar. Mencoba menghancurkan benda itu jadi serbuk kayu. Tidak ada yang terjadi. Kayu ditanganku masih utuh.
Sejurus kemudian aku menyadarinya. Kalau makanan bisa memberi kekuatan super, makanan lain bisa juga menghilangkannya. Kolak nenek, anti dari puding yang kumakan sebelumnya.
Cerita mini (cermin) karya: Archana Universa
Karya lengkapnya dipublikasikan di:
Comments
Post a Comment